WahanaNews.co | Diungkapkan Direktur Indonesia Public
Institute (IPI), Karyono Wibowo, keberadaan buzzer jangan selalu dianggap
negatif karena tak jarang juga mereka menyuarakan hal positif. Bahkan, membela
isu nasionalisme dan melawan kelompok intoleran, kelompok yang ingin memisahkan
diri dari Indonesia.
Baca Juga:
Pembuktian Sulit, Mahfud Akui Kesulitan Tindak Buzzer
Menurutnya, munculnya
para buzzer lantaran buah dari demokrasi, media sosial, keterbukaan informasi
dunia digital. Kata Karyono, siapapun bisa diorganisir sebagai kelompok, untuk
digunakan baik politik maupun yang lain. Bisa digunakan untuk kepentingan
apapun, bahkan sering sekali buzzer digunakan untuk kepentingan tertentu.
Namun, perspektif
buzzer menjadi negatif bila digunakan untuk kelompok tertentu dalam hal ini
menyerang pemerintahan. Sebaliknya, ketika ada suara positif, malah pemerintah
yang dituduh memelihara buzzer.
"Kadang tidak
fairnya, pemerintah dituduh mengorganisir, atau memelihara. Padahal pihak
oposisi yang kerap menggunakan buzzer untuk menyerang pemerintah," ungkap
Karyono, Selasa (16/2).
Baca Juga:
Bamsoet: Humas Kementerian Jangan Kalah Gesit oleh Buzzer
Begitu juga, kata
Karyono, kekuatan kelompok garis keras, menggunakan buzzer untuk mendowngrade
pancasila, lalu seakan meninggikan ideologi lain. Seperti hal yang dilakukan
kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). "FPI juga menggunakan itu
(buzzer), PKS juga menggunakan buzzer, untuk menyerang pemerintah," kata
dia.
Untuk menghalau itu semua, Karyono sepakat pemerintah
menggunakan UU ITE, karena untuk menjerat kelompok-kelompok tertentu yang
menggunakan buzzer.
Sementara itu,
penggiat media sosial Ade Armando menganggap keberadaan buzzer dalam demokrasi
bukanlah hal baru, sehingga tidak perlu untuk ditertibkan.
Menurut Ade,
penggunaan influencer dan buzzer untuk mensosialisasikan sebuah program atau
kebijakan tertentu merupakan hal yang tak terhindarkan di era digitalisasi
seperti sekarang ini.
"Malah bodoh
sekali ketika kita tahu persis bahwa kita bisa meraih sasaran dengan lebih
cepat dan luas jika menggunakan influencer, tetapi tidak menggunakannya,"
ucapnya.
Menurut Ade hal
tersebut lumrah, karena terjadi dan siapa pun dapat menggunakan influencer atau
buzzer. Kalaupun ada penindakan sejumlah orang yang mengkritik pemerintah, itu
bukan lantaran karena kritiknya.
Namun, sambung Ade,
mereka yang mengkritik kemudian dipolisikan, karena polisi mengendus ada unsur
pidananya. Tidak seperti Refly Harun, Rocky Gerung sampai Din Syamsuddin yang
masih aman meski sering mengkritik.
Memang ada kasus
pengkritik yang kemudian berakhir di meja hukum, misalnya kasus Ustaz Maaher,
Ahmad Dhani dan Habib Rizieq. Namun dalam tiga kasus ini, menurut Ade, mereka
terjerat unsur pidana.
"Saya enggak
ingat orang kritik Jokowi terus kena serangan hukum. Saya kan sering dianggap
buzzer dibayar pemerintah untuk lawan Habib Rizieq, lho kan saya enggak dibayar
pemerintah," cetusnya.
Menurutnya, buzzer
bagian sah dalam demokrasi, "Buzzer ini orang-orang sipil yang bicara membela
yang dianggap benar, ini bukan negara, itu orang-orang sipil," lanjut Ade.
Dalam kasus yang
dijerat dengan UU ITE, Ade melihat polisi sudah berusaha semaksimal mungkin
menjaga dalam koridor demokrasi. "Saya enggak lihat bukti yang cukup bahwa
pemerintah membiarkan aparatnya mengekang kebebasan ekspresi," tegasnya. [qnt]