WAHANANEWS.CO, Jakarta - Presiden Amerika Serikat ke-46, Joe Biden, pernah menyampaikan alasan di balik perlunya Indonesia memindahkan ibu kota ke Ibu Kota Nusantara (IKN).
Sorotan media internasional Agence France Presse (AFP) menyebutkan bahwa IKN resmi menjadi ibu kota baru Indonesia pada Agustus 2024. Nantinya, IKN akan menjadi pusat perhatian baru, menggantikan peran Jakarta.
Baca Juga:
Kementerian PU Siap Dukung Rencana Pemindahan ASN dan Ibu Kota Negara ke IKN
"Ribuan pegawai negeri dijadwalkan pindah ke kota ini pada bulan September untuk mulai bekerja. Namun, rencana tersebut tertunda beberapa bulan akibat lambatnya proses pembangunan," tulis AFP.
Rencana pemindahan ibu kota sebenarnya telah diumumkan Presiden Joko Widodo pada 2019. Tujuannya adalah mengurangi tekanan terhadap Jakarta dan wilayah sekitarnya (Jabodetabek).
Saat ini, Jakarta menghadapi masalah ekologis serius, seperti penurunan permukaan tanah. Beberapa daerah bahkan terancam tenggelam akibat kombinasi penurunan tanah dan kenaikan permukaan air laut.
Baca Juga:
Terima Kunjungan Duta Besar Finlandia, Wamen Diana Bahas Potensi Kerja Sama Infrastruktur Berkelanjutan
Joe Biden menyinggung masalah ini dalam pidatonya di kantor Direktur Intelijen Nasional AS pada Juli 2021. Ia menyoroti dampak perubahan iklim yang mengancam Jakarta.
"Jika permukaan laut naik hingga dua setengah kaki, jutaan orang akan bermigrasi mencari tanah yang lebih aman... Apa yang akan terjadi pada Indonesia jika proyeksi menunjukkan bahwa, dalam 10 tahun, mereka mungkin harus memindahkan ibu kota karena Jakarta akan berada di bawah air?" katanya.
Kekhawatiran Biden tidak berdasar. Pada 2019, World Economic Forum mencatat Jakarta sebagai kota paling berisiko tenggelam pada 2100 jika tidak ada langkah pencegahan, diikuti Lagos (Nigeria) dan Houston (AS).
Badan Antariksa AS (NASA) pada 2021 juga memperingatkan bahwa kenaikan suhu global dan mencairnya lapisan es meningkatkan ancaman banjir di kota-kota pesisir seperti Jakarta.
NASA mengungkapkan bahwa penurunan tanah akibat eksploitasi air tanah memperparah risiko banjir yang semakin parah selama beberapa dekade.
Bahkan sejak 1990-an, Jakarta telah mengalami banjir besar, termasuk banjir pada musim hujan 2007 yang merendam 70% wilayahnya.
Gambar satelit NASA juga menunjukkan perubahan signifikan pada Jakarta selama tiga dekade terakhir.
Deforestasi dan urbanisasi yang masif di sekitar sungai Ciliwung dan Cisadane mengurangi daya serap air tanah, memicu banjir dan luapan air bandang.
Lonjakan populasi antara 1990 hingga 2020 membuat semakin banyak orang tinggal di kawasan rawan banjir.
Selain itu, saluran air dan kanal di Jakarta sering tersumbat oleh sedimen dan sampah, meningkatkan kerentanannya terhadap banjir.
Data satelit pada 1990 juga mencatat bahwa pembangunan lahan buatan di pantai Teluk Jakarta telah meluas, dengan setidaknya 1.185 hektar lahan baru yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan kota.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]