WahanaNews.co | Kendati sudah beroperasi sejak 1982, namun performa Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, ternyata tetap prima.
Pemeliharaan berkala, itulah kuncinya.
Baca Juga:
Ajang Hari Listrik Nasional 2024, PLN EPI Bawa Pulang Empat Penghargaan
Kesenjangan pengalaman sumber daya manusia di sana menjadi salah satu tantangan mengawal kinerja PLTP tertua di Indonesia itu tetap prima.
Sabtu (30/09/2021) pagi itu, deru suara turbin unit pembangkit 2 dan 3 PLTP Kamojang saling beradu.
Di tengah kebisingan melebihi 80 desibel, sejumlah pekerja sibuk membongkar dan membersihkan turbin pembangkit 1 yang sedang menjalani pemeliharaan rutin.
Baca Juga:
Ajang Hari Listrik Nasional 2024, PLN EPI Bawa Pulang Empat Penghargaan
Pemeliharaan turbin, kondensor, demister, dan komponen lainnya menjadi bagian dari overhaul atau turun mesin berkala.
Prosesnya dilakukan setelah pembangkit beroperasi selama 23.000 jam atau sekitar tiga tahun.
“Pemeliharaan menjadi kunci mempertahankan performa oprimal. Jadwalnya sudah diatur agar overhaul tidak dalam waktu bersamaan. Jadi, produksi listrik tetap terjaga,” ujar Ahli Madya Sistem Manajemen Terintegrasi PT Indonesia Power Kamojang POMU (Power Generation and O&M Services Unit), Dedih Kusdinar.
Overhaul memakan waktu sekitar 25 hari.
Sementara unit pengkit 2 sudah menjalaninya tahun lalu, dan pembangkit 3 dijadwalkan pada September 2023.
PLTP Kamojang berkapasitas total 140 megawatt (MW).
Rinciannya, pembangkit 1 sebesar 30 MW, sedangkan dua pembangkit lainnya masing-masing berkapasitas 55 MW.
Potensi panas bumi di Kamojang ditemukan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 1918.
Kemudian pada 1926-1928, Netherland East Indies Vulcanological Survey mengebor lima sumur eksplorasi.
Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan Selandia Baru menyelidiki potensi panas bumi itu pada 1971.
Setahun berselang, pengeboran sumur dilakukan bersama Geothermal Energy New Zealand Ltd.
Pengeboran 10 sumur produksi untuk memasok PLTP Kamojang berlangsung pada 1979.
Tiga tahun kemudian, unit pembangkit 1 resmi beroperasi dengan kapasitas 30 MW.
Selanjutnya pembangkit 2 dan 3 dioperasikan pada 1987.
Saat ini, PLTP Kamojang menerima suplai uap dari PT Pertamina Geothermal Energy.
Uap dari sekitar 30 sumur eksplorasi disalurkan melalui empat pipa menuju receiving header.
Uap kemudian dialirkan ke separator untuk memisahkan dari silika, boron, dan partikel berat lainnya.
“Kemudian uap masuk ke demister untuk dipisahkan antara uap dan partikel air. Sebab, harus uap kering yang masuk ke turbin untuk menggerakkan generator sehingga menghasilkan listrik,” ujar Dedih.
Meskipun telah melalui dua kali penmyaringan, debu dan partikel lainnya masih berpotensi masuk ke turbin dan komponen lainnya. Selama beroperasi tiga tahun, partikel itu akan menumpuk dan bisa mengganggu kinerja pembangkit.
“Kalau tidak dibersihkan, performanya menjadi tidak optimal. Misalnya, dari kapasitas 55 MW, bisa turun menjadi 53 MW,” katanya.
Pemeliharaan dalam jangka waktu lebih pendek juga dilakukan enam bulan sekali.
Namun, pada tahapan ini, tidak sampai membongkar turbin sehingga prosesnya hanya berlangsung tiga hari.
Dedih menuturkan, kesenjangan pengalaman SDM operasional menjadi salah satu tantangan pemeliharaan PLTP Kamojang.
Jarak perekrutan pegawai yang terlalu jauh membuat pengalaman teknisi dan operator sangat timpang.
Padahal, kecakapan merawat unit pembangkit dibentuk dari pengalaman bertugas.
Ia menyebutkan, perekrutan pegawai PLTP Kamojang pertama dilakukan sekitar awal 1983.
Sepuluh tahun berselang, ia bergabung bersama sekitar 120 pegawai lainnya.
“Jarak angkatan saya ke angkatan pertama tidak terlalu jauh. Masih bisa transfer ilmu di lapangan. Sementara angkatan berikutnya tahun 2015. Jadi, gapnya terlalu jauh,” ucapnya.
Mengatasi hal itu, sejumlah pensiunan diberdayakan untuk berbagi pengalaman.
Ia berharap, perekrutan pegawai selanjutnya mempertimbangkan jarak antarangkatan sehingga terjadi transfer ilmu saat bekerja bersama.
Selain PLTP Kamojang, PT Indonesia Power Kamojang POMU juga mengelola PLTP Darajat berkapasitas 55 MW di Kabupaten Garut, PLTP Gunung Salak (3 x 60 MW), dan PLTP Ulumbu di Nusa Tenggara Timur (4 x 2,5 MW).
Keberpihakan Regulasi
Penggunaan potensi energi terbarukan di Indonesia masih minim.
Tenaga panas bumi, misalnya, pemanfaatannya baru mencapai 8,9 persen dari total potensi 23.900 MW.
Pemanfaatan energi panas bumi terkendala oleh berbagai faktor, salah satunya mahalnya investasi akibat tingginya biaya eksplorasi.
Hal ini berujung pada harga listrik dari PLTP yang lebih mahal dibandingkan pembangkit berbahan bakar batu bara.
Manajer Operasi dan Pemeliharaan PT Indonesia Power Kamojang POMU, Wahyu Spmantri, mengatakan, harga listrik dari PLTP Kamojang 6 sen dollar AS per kWh.
Sementara harga listrik dari pembangkit berbahan batu bara hanya 3 sen dollar AS per kWh.
Oleh sebab itu, dibutuhkan keberpihakan regulasi untuk mendorong penggunaan energi terbarukan lebih masif.
“Kalau memang EBT (energi baru terbarukan) mau berjaya, perlu dibuat regulasi yang lebih ramah,” ujarnya.
Wahyu menuturkan, sekitar 80 persen biaya operasional PLTP Kamojang untuk membeli uap.
Menurut dia, jika suplai uap dikelola sendiri, pengeluaran bisa ditekan dan harga listrik berpeluang menjadi lebih murah. [qnt]