WahanaNews.co
| Presiden Joko Widodo alias Jokowi mendapatkan
restu dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membentuk Kementerian Investasi
lewat rapat paripurna pada Jumat (9/4/2021) lalu.
Kini,
pembentukan kementerian anyar itu tinggal menunggu pengesahan dari
Jokowi.
Baca Juga:
Rumput Laut Masuk Peta Peluang Investasi 2022
Juru
Bicara Presiden, Fadjroel Rachman, mengisyaratkan, pembentukan Kementerian
Investasi sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 39/2008 tentang
Kementerian Negara.
Beleid
itu mewajibkan adanya pertimbangan efisiensi dan efektifitas, cakupan tugas dan
proporsionalitas beban tugas, kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan
pelaksanaan tugas, serta perkembangan lingkungan global.
"Sesuai
dengan Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) sebagai pertimbangannya," ujar
Fadjroel, dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Selasa (27/4/2021).
Baca Juga:
Kementerian Investasi Targetkan 2023 Produksi Perdana Baterai Mobil Listrik
Sebelumnya,
sumber media mengungkapkan, Kepala Negara akan menaikkan kelas BKPM menjadi
Kementerian Investasi, alih-alih membentuk kementerian baru.
Dengan
kebijakan itu, otomatis Kepala BKPM, yang saat ini dijabat Bahlil Lahadalia,
bakal naik kelas menjadi Menteri Investasi.
Adapun
tujuan perubahan BKPM menjadi Kementerian Investasi disebut agar penanaman
modal dan izin investasi di Indonesia lebih terfokus di satu pintu.
"Setahu
saya, BKPM nantinya menjadi Kementerian Investasi. Supaya perannya lebih
efektif saja," ujar sumber itu pada Jumat (9/4/2021) lalu.
Disinggung
hal itu, Bahlil menyebut, kebijakan itu sepenuhnya hak prerogatif Kepala Negara.
"Saya
ini pembantu Presiden. Jadi, urusan yang (jadi) kebijakan Bapak Presiden, mohon
maaf, dengan segala hormat, kami tidak dalam posisi untuk menjelaskan, karena
bukan domain BKPM," ungkap Bahlil, awal pekan ini.
Bukan
rahasia lagi, memang. Investasi merupakan salah satu fokus pemerintahan Jokowi.
Kerap
kali, ia mengutarakan kecewa, hingga marah, lantaran proses perizinan investasi
di Indonesia masih berbelit, sehingga investor asing lebih melirik negara
tetangga ketimbang Tanah Air.
Berbagai
kebijakan terus diluncurkan demi memuluskan aliran dana masuk.
Pada
periode pertama kepemimpinannya, Jokowi menggagas 16 paket kebijakan ekonomi,
yang meliputi pemberian fasilitas pembebasan pajak penghasilan (PPh) atau tax
holiday, fasilitas pengurangan PPh badan atau tax allowance, hingga
relaksasasi Daftar Negatif Investasi (DNI).
Pada
periode kedua pun, ia kembali memberikan karpet merah bagi investasi, mulai
dari perbaikan sistem perizinan investasi lewat Online Single Submission
(OSS) sampai merampungkan omnibus law UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja.
Belum
berhenti di situ, Jokowi juga akan membentuk Kementerian Investasi.
Apakah
pembentukan Kementerian Investasi ini menjadi jurus pamungkas Jokowi mendorong
investasi masuk ke Tanah Air?
Ekonom
Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy, mengatakan,
Kementerian Investasi bukanlah senjata pamungkas guna menggenjot aliran modal
masuk ke Indonesia.
Kementerian
baru itu hanya pintu masuk pada upaya yang lebih besar dalam mendatangkan
investasi.
"Kalau
menurut saya, belum (menjadi senjata pamungkas). Artinya, ini baru sekadar
pintu masuk. Kalau senjata pamungkas, pada eksekusi kebijakan. Dan, kebijakan
itu sudah menunggu, sudah ditetapkan dari pemerintah, tinggal Kementerian
Investasi mengekskusi ini. Dan, inilah yang menjadi senjata pamungkas dari
kementerian ini," tutur Yusuf kepada wartawan, Selasa (27/4/2021).
Sebab,
untuk mengundang investasi, tidak berhenti pada pembentukan kementerian baru
atau perubahan institusi dari BKPM menjadi Kementerian Investasi, seperti yang
santer beredar.
Menurutnya,
masih banyak pekerjaan rumah yang menjadi tugas pemerintah, tidak terbatas pada
kementerian tertentu.
Tugas
pertama yang menghadang Kementerian Investasi nantinya adalah mengeksekusi
aturan turunan UU Cipta Kerja yang berkaitan dengan investasi.
Total,
ada 49 aturan turunan UU Cipta Kerja, yang terdiri dari 45 Peraturan Pemerintah
(PP) dan empat Peraturan Presiden (Perpres).
"Tugasnya
itu banyak sekali, misalnya investasi di sektor industri, perizinan, kemudian
masalah tenaga kerja, dan sebagainya. Ini pekerjaan pertama Kementerian
Investasi untuk bisa kolaborasi dengan kementerian lain untuk tingkatkan
investasi," tuturnya.
Artinya,
taji Kementerian Investasi dalam menggenjot modal masuk akan bergantung pada
sejauh mana tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) mereka.
Khususnya,
pada hal-hal yang kerap menghambat investasi, seperti perizinan lahan, eksekusi
insentif di tingkat daerah, koordinasi lintas kementerian/lembaga dengan
pemerintah daerah, dan sebagainya.
"Apakah
tupoksinya sama dengan BKPM, atau memang ada peningkatan tanggung jawab yang
diberikan pemerintah? Apalagi, tanggung jawab terkait hal-hal yang seringkali
menjadi penghambat realisasi investasi, itu yang akan mempengaruhi sejauh mana
kementerian baru nanti akan berhasil mendongkrak investasi," kata Yusuf.
Direktur
Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef),
Tauhid Ahmad, menuturkan, kapabilitas Kementerian Investasi menarik masuk
investasi bergantung pada kewenangan dari sejumlah kementerian/lembaga yang
dilimpahkan pada mereka nantinya.
Kewenangan
yang dimaksud, antara lain pemberian insentif perpajakan, pengaturan lahan
untuk investasi, perizinan lingkungan, tenaga kerja, dan lainnya.
Sebaliknya,
apabila Kementerian Investasi hanya sekadar "ganti baju" alias perubahan nama
dari sebelumnya BKPM, ia ragu investasi bisa bertambah.
"Kalau
itu terjadi, maka Kementerian Investasi ada nilai plusnya, saya yakin target
investasi bisa meningkat. Tapi, kalau misalnya hanya 'baju' saja diganti,
menurut saya tidak ada nilai tambah, atau hanya berubah nama saja tidak ada
perubahan kewenangan, sama saja, tidak ada suatu perubahan yang besar,"
imbuh Tauhid.
Senada
dengan Yusuf, Tauhid juga berpandangan, Kementerian Investasi bukan senjata
pamungkas menghadirkan modal ke dalam negeri.
Alasannya,
hambatan investasi berkaitan dengan aspek fundamental lainnya yang justru
berada di luar jangkauan Kementerian Investasi.
Misalnya,
permasalahan infrastruktur, rendahnya daya saing SDM, minimnya dana riset dan
pengembangan (R&D), cuma 0,02 persen dari PDB, tingginya tingkat suku bunga
kredit, praktik korupsi, dan sebagainya.
Ihwal
korupsi ini, pernah disinggung oleh Bahlil sebagai penyebab tingginya indikator
Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia.
ICOR
merupakan parameter yang menggambarkan efisiensi investasi, yang tercermin dari
besaran modal yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit output.
Dengan
kata lain, semakin tinggi skor ICOR, artinya investasi semakin tak efisien.
Saat
ini, ICOR Indonesia di level 6,6, atau kalah dari Thailand yang sebesar 4,4,
Malaysia (4,5), Vietnam (4,6), dan Filipina (3,7).
Bahlil
mengungkapkan, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih tinggi, yakni pada
urutan 85 dari 180 negara, sehingga membuat investor enggan menanamkan modalnya
di Tanah Air.
Oleh
karenanya, Tauhid menerangkan, butuh sebuah ekosistem investasi yang
menghadirkan iklim penanaman modal positif.
Dalam
hal ini, perlu peran semua pihak, baik dari pemerintah maupun swasa. Bukan
semata Kementerian Investasi saja.
"Perlu
ada desain dari kementerian lain atau swasta untuk lebih jauh mengatasi
persoalan klasik dari investasi kita, termasuk daya saing rendah, masalah
korupsi, masalah tenaga kerja, dan sebagainya," ucapnya.
Menurutnya,
berbagai kebijakan yang diluncurkan pemerintah selama ini untuk mendorong
investasi, terbukti belum efektif.
Pasalnya,
kebijakan itu belum mampu memecahkan kendala klasik investasi, seperti yang
disebutkan sebelumnya.
Salah
satu indikatornya, lanjut dia, belum banyak perusahaan yang merealisasikan
investasinya, meskipun telah mendapatkan komitmen insentif tax holiday
dan tax allowance.
Bahkan,
pemerintah beberapa kali telah melonggarkan insentif tersebut, hingga
melimpahkannya kepada BKPM.
Bahlil
pernah menyampaikan, ada 80 perusahaan yang sudah mendapat komitmen tax
holiday dengan total investasi mencapai hampir Rp 1.000 triliun.
Sayangnya,
investor itu belum merealisasikan investasinya. Tak heran, BKPM berencana
mencabut keringanan pajak itu bagi mereka.
"Jadi,
belum (mendorong investasi). 16 Paket Kebijakan Ekonomi juga tidak mampu
menghasilkan banyak perubahan signifikan, tetap pertumbuhannya normal
begitu," tuturnya.
Tahun
ini, target investasi ditetapkan sebesar Rp 856 triliun. Sementara itu, hingga
kuartal I 2021, realisasinya sebesar Rp 219,7 triliun, atau sekitar 25,66
persen dari target.
Angka
itu tumbuh 2,3 persen secara kuartalan dibandingkan kuartal IV 2020, dan tumbuh
4,3 persen secara tahunan dari kuartal I 2020.
Rinciannya,
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar Rp 108 triliun. Realisasi PMDN
minus 4,2 persen secara tahunan, namun tumbuh 4,2 persen secara kuartalan.
Kemudian,
Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar Rp 111,7 triliun, atau naik 14 persen
secara tahunan dan 0,6 persen secara kuartalan. [qnt]