WahanaNews.co | Komisi
Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkapkan terdapat
651 dugaan kekerasan yang melibatkan aparat Polri sepanjang Juni 2020 hingga
Mei 2021 di tengah pandemi Covid-19.
"Berdasarkan pemantauan kami pada periode Juni 2020
hingga Mei 2021 ini kami catat setidaknya terjadi 651 tindakan kekerasan yang
melibatkan institusi kepolisian," kata Anggota Divisi Riset dan
Dokumentasi KontraS Rozy Brilian, Rabu (30/6).
Baca Juga:
Basuki: Penundaan Kenaikan Tarif Tol Akibat Pandemi, Tak Selalu Salah Pemerintah
Dari catatan KontraS, dugaan kekerasan tertinggi terjadi di
tingkat Polres yakni sebanyak 399 kasus. Sementara di tingkat Polda sebanyak
135 kasus, dan 117 kasus lainnya di tingkat Polsek.
Rozy mengatakan dugaan kekerasan aparat kepolisian tak
berhenti sepanjang pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia. Justru pandemi
menjadi salah satu alasan aparat kepolisian melegalkan tindakan-tindakan
tersebut.
"Polres masih jadi aktor dominan dari keseluruhan
jumlah kekerasan yang dilakukan institusi kepolisian," ujarnya.
Baca Juga:
Sri Mulyani Sampaikan Perkembangan Perekonomian Indonesia 10 Tahun Terakhir
Menurut Rozy, mekanisme pengawasan yang mestinya dilakukan
kepolisian terhadap lembaganya di setiap tingkatan justru tak berjalan dengan
baik dan efisien sekalipun Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah
mengeluarkan aturan baru.
"Kami lihat tidak ada perbaikan signifikan terjadi di
konteks pengawasan satuan tingkatan tersebut," katanya.
Mayoritas Penembakan
Lebih lanjut, Rozy mengatakan bentuk kekerasan yang banyak
dilakukan aparat kepolisian sepanjang Juni 2020 hingga Mei 2021 adalah kasus
penembakan. Dalam satu tahun terakhir ini sebanyak 13 orang meninggal dunia dan
98 orang lainnya terluka akibat aksi penembakan anggota Polri.
"Bentuk kekerasan yang paling banyak dilakukan adalah
penembakan. Setidaknya 13 orang tewas dan 98 orang luka-luka," kata Rozy.
Dari semua itu, Rozy mengatakan aparat kepolisian dari
tingkat Polres yang paling banyak melalukan aksi penembakan ini. Tercatat
sebanyak 250 penembakan dilakukan Polres, sementara Polda sebanyak 59 kali
"Dari banyaknya data yang kami dapat, kami lihat ini
disebabkan oleh penggunaan (senjata api) yang tidak sesuai peosedur. Dan
tindakan sewenang-wenang oleh aparat," katanya.
Rozy menyebut penggunaan senjata api mestinya sesuai dengan
Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi HAM oleh Polri dan
Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan
Kepolisian.
"Minimnya evaluasi penggunaan senjata api di tubuh
Polri menyebabkan angka ini konsisten tinggi dari tahun ke tahun,"
ujarnya.
Selain penembakan, Rozy merinci jenis kekerasan lain yang
banyak dilakukan aparat kepolisian. Seperti penangkapan sewenang-wenang,
pembubaran paksa, hingga penganiayaan.
Rincian kekerasan kepolisian sepanjang Juni 2020 hingga Mei
2021, yakni 3 kasus kejahatan seksual terhadap masyarakat sipil, 2 kasus
pembunuhan, 1 kasus penculikan, 75 kasus penangkapan sewenang-wenang, 58 kasus
pembubaran paksa.
Kemudian 12 kasus salah tangkap, 6 kasus tindakan tidak
manusiawi, 24 kasus intimidasi, 66 kasus penganiayaan, dan 36 kasus penyiksaan.
Sementara itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo
mengingatkan kepada jajaran anak buahnya untuk dapat menghormati nilai hak
asasi manusia (HAM) dalam bertugas di Korps Bhayangkara. Dia mengingatkan hal
tersebut dalam momentum puncak HUT ke-75 Bhayangkara atau Polri pada Kamis
(1/7) hari ini.
"Profesionalisme penyidik Polri harus dijaga dan
dipertahankan dengan tampilan tegas, namun tetap humanis serta menghormati
nilai-nilai Pancasila dan Hak Asasi Manusia," kata Listyo dalam keterangan
tertulis yang diterima selepas kegiatan upacara HUT ke-75 Bhayangkara yang
dihadiri Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), Kamis.
Peringkat Ketiga
Listyo pun mengaku puas dengn pencapaian Korps Bhayangkara
pada usianya yang ke-75 ini. Dia mendasari hal tersebut dengan tingkat
kepercayaan publik terhadap Polri sebesar 86,5 persen versi survei Alvara
Strategi Indonesia yang meningkat dari tahun sebelumnya.
Kemudian, dalam lembaga Charta Politika Indonesia, Polri
menduduki peringkat ketiga sebagai lembaga tinggi negara berkinerja paling baik
(pada tahun 2018 sampai 2019 Polri menduduki peringkat keempat).
"Peningkatan kepuasan terhadap kinerja dan kepercayaan
terhadap Polri ini merupakan kerja keras dari seluruh anggota Polri. Hal ini
harus kita syukuri bersama dan mendorong Polri untuk menjadi lebih baik dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat," jelasnya.
Sebelumnya, dalam peringatan HUT Bhayangkara, Jokowi meminta
seluruh insan Polri benar-benar presisi dalam menjalankan wewenang penegakan
hukum yang dimiliki--termasuk soal penangkapan, penahanan, penggeledahan,
hingga penyitaan. Polri, kata Jokowi, bukan hanya tampil tegas dan pandang
bulu. Menurutnya, para Bhayangkara juga perlu tampil sebagai pengayom dan
pelindung masyarakat.
"Ingat bahwa negara adalah negara Pancasila, negara
demokrasi, negara yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia," ucap
Jokowi dari Istana Kepresidenan, Jakarta, yang disiarkan kanal Youtube
Sekretariat Presiden, Kamis (1/7). [qnt]