WahanaNews.co | Seorang perempuan menyerang Mabes
Polri, Jakarta, Rabu (31/3/2021) sore.
Perempuan
yang belakangan diketahui bernama Zakiah Aini itu sempat 6 kali melakukan tembakan ke arah anggota kepolisian.
Baca Juga:
Waspada! Marak Modus Pemerasan Online Incar Remaja
Ia
kemudian mendapatkan tindakan tegas dari pihak kepolisian, dilumpuhkan dari
jarak jauh, dan tewas di lokasi kejadian.
Kapolri
Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menyatakan bahwa Zakiah Aini seorang simpatisan ISIS dan
menjalankan pola lone wolf atau
bergerak sendiri saat melancarkan aksinya.
Belakangan
diketahui, Zakiah Aini masih berusia 25 tahun, usia yang terbilang masuk kelompok
milenial.
Baca Juga:
Ancam Populasi Satwa Lain, Racun di Kulit Kodok Tebu Jadi Malapetaka di Australia
Keterlibatan
anak muda dan generasi milenial dalam rangkaian antiteror dalam beberapa waktu
terakhir memang meningkat.
Menteri
Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud
MD, pada Desember 2020 lalu, bahkan pernah menyatakan bahwa
ancaman radikalisme di kalangan anak muda kian nyata dan mengancam Pancasila.
Dilatih untuk Aksi Teror
Mahfud
mengatakan bahwa dirinya mendapatkan laporan tentang adanya sejumlah anak muda
yang dilatih untuk menjalankan aksi teror.
Para
pemuda ini, sambung Mahfud, dipersiapkan untuk melakukan teror pada orang-orang
penting atau very-very important person
(VVIP).
Meski
tak mengatakan di mana lokasi pelatihan itu dilakukan, Mahfud menyebut telah
mengantongi foto-foto anak muda tersebut.
"Saya
dapat foto latihannya juga. Nah yang seperti ini, itu radikalisme yang
mengarah, menghantam ideologi. Itu satu, intoleran. Dua, yang lebih parah dari itu, adalah
teror. Teror itu karena paham jihadis, paham jihad yang salah," tutur
Mahfud, kala itu.
Lebih dari 2.000 Orang Terlibat Terorisme
Sementara
itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen
Pol Boy Rafli Amar, menuturkan, selama 20 tahun terakhir, setidaknya 2.000 orang telah
ditangkap karena melanggar hukum terkait tindak pidana terorisme.
Dikutip
dari Antara, Jumat (5/2/2021), Boy
menjelaskan, setidaknya 1.250 masyarakat Indonesia berangkat ke Irak untuk
bergabung dengan ISIS.
"Kita
tidak ingin ada lagi orang yang berangkat ke Irak dan Suriah, dipenjara karena
urusan terorisme, maupun anak-anak Indonesia yang jadi pelaku bom bunuh
diri," sebutnya.
Boy
juga mengatakan bahaya dari gerakan ekstrimisme, radikalisme dan terorisme
adalah kemampuannya mempengaruhi pikiran seseorang dengan mudah dan tanpa
sadar.
Perekrutannya,
sambung Boy, juga berjalan dengan masif, baik melalui media sosial hingga tatap
muka secara langsung.
Perpres dan Persatuan
Boy
saat itu menyebut keberadaan Perpres Nomor 7 Tahun 2021 tentang
Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis
Kekerasan Yang Mengarah Pada Terorisme Tahun 2020-2024 (RAN-PE) penting untuk
meningkatkan perlindungan terhadap warga negara dari ancaman terorisme.
"Perpres
ini melibatkan seluruh pihak, tidak boleh ada yang berpangku tangan. Jangan
sampai ada orang melakukan proses radikalisasi, tetapi masyarakat tidak
waspada. Jadi, ada kesadaran publik," kata Boy.
Sedangkan
menurut Mahfud MD, pemerintah mesti menguatkan persatuan untuk meredam
penyebaran radikalisme di kalangan masyarakat.
"Tugas
kita adalah menjalankan pemerintah, negara yang bersumbu pada kesatuan bangsa
kita. Semua energi kita harus kita kerahkan untuk jaga keutuhan dan
kebersamaan, kebersatuan kita," imbuhnya. [dhn]