WAHANANEWS.CO, Jakarta - Organisasi Relawan Nasional MARTABAT Prabowo-Gibran menilai bahwa persoalan sampah di Indonesia tidak bisa diselesaikan hanya dengan pembangunan fasilitas pengolahan, melainkan juga membutuhkan perubahan perilaku masyarakat secara menyeluruh.
Menurut organisasi yang dikenal aktif dalam gerakan sosial dan lingkungan ini, kombinasi antara sosialisasi dan penegakan sanksi (punishment) dapat menjadi formula efektif dalam menumbuhkan kesadaran kolektif terhadap pentingnya menjaga kebersihan lingkungan.
Baca Juga:
Percepat Ubah Sampah Jadi Energi Listrik, MARTABAT Prabowo-Gibran Dorong 3 Pemda dan Pemprovsu di Kawasan Metropolitan Mebidang Kolaborasi
Ketua Umum MARTABAT Prabowo-Gibran, KRT Tohom Purba, menegaskan bahwa langkah pemerintah melalui berbagai proyek seperti Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) merupakan bentuk kemajuan yang patut diapresiasi.
Namun, ia menilai bahwa teknologi hanyalah satu sisi dari solusi yang lebih besar, sementara sisi lainnya adalah edukasi dan disiplin masyarakat.
“Kalau masyarakat belum memahami dan belum sadar bahwa sampah adalah tanggung jawab pribadi, maka seberapa pun canggih teknologinya, hasilnya tidak akan maksimal. Sosialisasi dan sanksi harus berjalan beriringan agar muncul kesadaran dan efek jera,” ujar Tohom, Rabu (22/10/2025).
Baca Juga:
MARTABAT Prabowo-Gibran Sambut Langkah Pemerintah Bentuk Tim PSEL Nasional
Ia mencontohkan kebijakan Pemerintah Kota Palembang yang menerapkan denda dan pidana bagi pembuang sampah sembarangan sebagai langkah nyata yang layak diikuti oleh daerah lain.
Menurutnya, kebijakan semacam ini tidak hanya bersifat menghukum, tetapi juga mendidik masyarakat agar lebih bertanggung jawab.
“Punishment itu bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk membentuk budaya baru. Sama seperti lalu lintas, kalau tidak ada sanksi, pelanggaran akan terus terjadi. Hal yang sama berlaku untuk sampah,” tegasnya.
Tohom menambahkan, MARTABAT Prabowo-Gibran melihat perlunya peran aktif masyarakat dan komunitas lokal dalam mendukung program pemerintah, termasuk dalam hal pengelolaan bank sampah, daur ulang plastik, dan komposting rumah tangga.
Menurutnya, keberhasilan pengelolaan sampah di negara-negara maju diawali dari disiplin individu dan kolaborasi publik-swasta yang solid.
“Di Jepang, orang sudah memilah sampah sejak dari rumah. Di Indonesia, ini belum menjadi kebiasaan karena minimnya edukasi dan tidak adanya konsistensi dalam penerapan sanksi. Padahal, budaya tertib itu bisa dimulai dari rumah, dari lingkungan RT, lalu meluas ke kota,” ucapnya menambahkan.
Tohom yang juga Pengamat Energi dan Lingkungan ini menyoroti potensi besar proyek-proyek PSEL seperti yang dikembangkan di Palembang, Surabaya, dan Solo, yang bukan hanya mampu mengurangi beban Tempat Pembuangan Akhir (TPA), tetapi juga bisa menjadi sumber energi baru terbarukan (EBT) bagi kebutuhan nasional.
Namun, ia mengingatkan agar setiap proyek tersebut tidak lepas dari pengawasan lingkungan yang ketat.
“Energi dari sampah memang menjanjikan, tapi jangan sampai melahirkan masalah baru seperti emisi berbahaya. Pemerintah harus memastikan setiap teknologi yang digunakan memiliki sistem kontrol emisi yang sesuai standar internasional,” jelasnya.
Ia mengungkapkan, visi besar Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam membangun Indonesia Maju harus mencakup dimensi ekologi berkelanjutan, di mana pengelolaan sampah tidak hanya menyentuh aspek ekonomi, tetapi juga kesehatan publik dan kualitas hidup masyarakat.
“Prinsipnya sederhana: bumi ini bukan warisan nenek moyang, tapi titipan untuk anak cucu. Jadi, mengelola sampah dengan benar adalah bentuk cinta pada masa depan bangsa,” tuturnya.
Lebih lanjut, Tohom mendorong agar pemerintah daerah menerapkan sistem penghargaan bagi masyarakat atau komunitas yang berhasil mengurangi sampah di lingkungannya.
Ia menyebut, kombinasi reward and punishment merupakan pola terbaik untuk membangun kesadaran jangka panjang.
“Kalau hanya sanksi, masyarakat bisa takut. Tapi kalau dibarengi penghargaan, mereka akan semangat. Dengan begitu, semangat gotong royong dalam menjaga lingkungan bisa tumbuh dari bawah,” ujarnya.
Menurut Tohom, perubahan paradigma dari “sampah sebagai beban” menjadi “sampah sebagai sumber daya” merupakan tonggak penting menuju Indonesia yang bersih dan mandiri energi.
Ia menegaskan bahwa sosialisasi, penegakan aturan, serta partisipasi aktif masyarakat adalah tiga pilar utama yang harus berjalan seimbang dalam membangun sistem pengelolaan sampah nasional yang berkelanjutan.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]