WahanaNews.co | Mantan Menteri Penerangan era Orde Baru, Harmoko, meninggal dunia di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, Minggu
(4/7/2021) malam.
Semasa menjabat sebagai Menteri
Penerangan, Harmoko adalah pencetus gerakan Kelompencapir (Kelompok pendengar,
pembaca, dan pemirsa) yang disiarkan televisi nasional, TVRI.
Baca Juga:
MPR RI Bakal Kaji Ulang Pasal TAP MPR Terkait Soeharto dan Gus Dur
Kabar wafatnya eks Ketua Umum Golkar
tersebut pun didapatkan dari Ketua Fraksi Golkar di MPR, Idris Laena.
Kepala RSPAD, Letjen
TNI Albertus Budi Sulistya, saat dikonfirmasi wartawan, mengatakan, mendiang Harmoko menghembuskan nafas
terakhirnya sekitar pukul 20.22 WIB.
"Baru [masuk IGD]. Jadi
hitungannya menit. Langsung ke igd sudah penurunan kesadaran kemudian kita coba
lakukan tindakan medis. Tetapi, tuhan berkehendak lain. jadi memang singkat
sekali di IGD," katanya, Minggu (4/7/2021) malam.
Baca Juga:
Kepemimpinan Prabowo Berpotensi Kombinasikan Gaya Soekarno, Soeharto dan Jokowi & Slogan "Penak Jamanku To?"
Semasa hidupnya, selain sebagai
politikus Golkar yang pernah menjadi Menteri Penerangan
di era Orde Baru (selama kurun waktu 1983-2007), Harmoko juga pernah menjadi Ketua DPR.
Ia dikenal sebagai mantan wartawan
yang kemudian berkarier politik di bawah naungan Golkar, lantas menjadi Menteri Penerangan selama tiga periode kabinet
pembangunan di bawah komando Presiden Soeharto.
Ia menjabat di kabinet pembangunan IV,
V, hingga sebagian VI atau dari 1983 hingga 1997.
Sebagai wartawan, Harmoko menjalani
karier tersebut selama 23 tahun sejak lulus SMA dan bekerja mula di harian Merdeka pada awal 1960-an.
Selanjutnya, ia pindah di harian Angkatan Bersenjata pada 1964.
Hanya berselang setahun, pria
kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, ini berpindah lagi di harian API, yang
dikenal sebagai media yang "Pancasilais" pada waktu itu.
Pada saat yang sama, Harmoko juga
menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah berbahasa Jawa, Merdiko.
Hingga akhirnya pada 1970, Harmoko
bersama Jahja Surjawinata, Tahar S Abiyasa, dan Pansa Tampubolon, menerbitkan surat kabar berbasis di Jakarta, Pos Kota.
Jusuf Wanandi, dalam
buku Menyibak Tabir Orde Baru, Memoar
Politik Indonesia 1965-1998, menuliskan, Harmoko
dianggap sebagai salah satu pengkhianat oleh Soeharto di ujung kekuasaannya.
"Lebih dari itu, ia merasa
dikhianati. Ia ditinggalkan oleh teman-teman dan mereka yang ia percaya selama
ini. Itu melukai perasaannya," ucap Jusuf Wanandi, dalam
buku tersebut.
"Para menteri itu munafik. Di
antaranya Ketua DPR Harmoko," tulisnya.
Selain itu, selama menjadi Menteri
Penerangan, Harmoko merupakan "kepanjangan tangan" Presiden Soeharto melakukan pembredelan atas media-media masa
dengan alasan demi menjaga stabilitas negara.
Beberapa di antara yang pernah kena "tangan dingin" Harmoko adalah surat kabar Sinar Harapan, majalah Tempo, tabloid Detik, dan majalah Editor.
Karier politik Harmoko berakhir
sebagai Ketua DPR/MPR yang mengangkat Soeharto sebagai Presiden
pada 1998 silam.
Namun, Harmoko yang membisikkan agar
Soeharto kembali maju jadi Presiden pada 1998, dia pula yang
meminta sang penguasa Orba itu untuk mundur pada Mei 1998.
Kenapa Harmoko?
Beberapa bulan sebelumnya, mantan
Menteri Penerangan itu mengatakan kepada Soeharto bahwa, berdasarkan hasil
Safari Ramadan ke sejumlah daerah, rakyat menganggap tidak ada tokoh lain yang
dapat memimpin negara kecuali Soeharto.
Padahal, Soeharto sebelumnya sudah
memiliki niat untuk lengser.
Tapi gara-gara Harmoko, niatnya urung
diwujudkan.
Setelah kerusuhan Mei, Harmoko mengatakan sebaliknya.
Kamis, 16 Mei 1998, Harmoko serta
pimpinan DPR/MPR lainnya sempat bertemu Soeharto di Cendana.
Mereka membicarakan kondisi Indonesia
dan desakan rakyat agar Soeharto mundur.
Harmoko bahkan sempat menanyakan
langsung kepada Soeharto.
"Ya, itu terserah DPR. Kalau
pimpinan DPR/MPR menghendaki, ya saya mundur, namun memang tidak ringan
mengatasi masalah ini," jawab Soeharto, dalam buku Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi
yang ditulis BJ Habibie.
Ribuan mahasiswa kemudian berdemo dan
menduduki gedung DPR/MPR, Sabtu, 18 Mei 1998.
Aksi menduduki gedung dewan itu
merupakan puncak dari serangkaian aksi di sejumlah kota besar.
Tuntutan utama mereka sama: Soeharto
mundur.
"Dalam menanggapi situasi seperti
tersebut di atas, pimpinan dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua
mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan
bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," kata Harmoko, pada 18 Mei 1998.
Ketika itu, ia didampingi pimpinan
parlemen lainnya, yaitu Ismail Hasan Metareum, Abdul Gafur, Fatimah Achmad, dan
Syarwan Hamid. [qnt]