WAHANANEWS.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) resmi mengabulkan permohonan penarikan kembali perkara Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dengan Nomor Perkara 224/PUU-XXIII/2025.
Dalam ketetapannya, MK menilai permintaan pencabutan tersebut sah dan memiliki dasar hukum yang kuat.
Baca Juga:
HGU 190 Tahun Gugur, Ini Respons Tegas Airlangga soal Masa Depan IKN
Dengan ditetapkannya pencabutan ini, pemohon tidak lagi memiliki kesempatan untuk mengajukan kembali permohonan yang sama.
“Mengabulkan penarikan kembali permohonan para Pemohon,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan Ketetapan/Putusan Nomor 224/PUU-XXIII/2025 yang berlangsung pada Kamis (27/11/2025) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Sebelumnya, rencana pencabutan permohonan telah disampaikan dan dikonfirmasi dalam sidang Majelis Panel Hakim pada Senin (24/11/2025).
Baca Juga:
Buntut Pengangkatan Kepala Bakom, Mahkamah Konstitusi Diminta Perjelas Fungsi Perpres
Sidang tersebut dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani.
Dalam kesempatan itu, Andrew Amanah Carnegie Hasibuan, mahasiswa magister kenotariatan selaku Pemohon, menjelaskan secara langsung melalui sambungan daring bahwa ia ingin menarik permohonannya karena terdapat sejumlah kekeliruan dalam penyusunan permohonan awal.
“Ada beberapa kesalahan teknis dan kesalahan kerangka permohonan yang saya sampaikan Yang Mulia dalam permohonan pengujuan materiil Undang-Undang saya,” ujar Andrew yang menghadiri sidang secara daring.
Permohonan yang dicabut tersebut pada awalnya menguji konstitusionalitas Pasal 22 ayat (2) UU Kementerian Negara.
Pasal tersebut menyatakan, “Pengangkatan dan pemberhentian Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hak prerogatif Presiden.”
Menurut Pemohon, ketentuan ini dinilai tidak memberikan batasan eksplisit bagi ketua umum partai politik atau pejabat struktural partai untuk menduduki jabatan menteri dalam kabinet.
Pemohon sebelumnya berpendapat bahwa kekosongan aturan itu berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antara posisi eksekutif dan kepentingan internal partai, membuka ruang praktik kolusi dan nepotisme, serta memungkinkan pengaruh kepentingan partisan dalam penyusunan kebijakan negara.
Ia menilai norma tersebut secara implisit membuka peluang rangkap jabatan politik yang bertentangan dengan prinsip negara hukum, tidak menjamin praktik pemerintahan yang bersih dari KKN, serta berpotensi mengganggu asas good governance.
Kondisi tersebut menurut Pemohon mengancam hak konstitusionalnya atas kepastian hukum yang adil.
Adapun dalam petitum permohonannya sebelum dicabut, Pemohon meminta MK menyatakan bahwa Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 23 UU Kementerian Negara inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai sebagai larangan bagi ketua umum partai politik untuk menjadi menteri.
Selain itu, Pemohon juga meminta MK mewajibkan pemerintah dan DPR menyesuaikan norma agar mampu mencegah potensi konflik kepentingan dalam jabatan eksekutif.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]