TREN anak-anak berkerumun di lampu merah dengan berdandan sebagai
manusia silver memakan korban di Kota Medan, Sumatra Utara.
Jonathan Sigalingging yang baru berusia sepuluh tahun terlindas truk, Senin (31/8/2020), pukul 22.30 WIB.
Saat itu, Jonathan baru selesai mengemis di lampu merah dan
hendak pulang bersama temannya, Wando, sesama bocah pengemis berdandan manusia
silver. Mereka berniat menyetop salah satu truk yang lewat untuk nebeng pulang.
Namun, suasana hujan dan gelap membuat sopir tak melihat keduanya. Jonathan
meninggal seketika akibat terlindas, Wando selamat.
Baca Juga:
Jokowi: Hadapi Dinamika Global RI Butuh Pemimpin Bernyali Besar
Peminta-minta di jalan yang mengecat tubuh dengan warna perak
metalik agar tampak seperti robot atau patung demi meraih simpati, bukan cuma
ada di Medan. Tren ini telah tersebar ke sejumlah provinsi dan tampaknya, bikin
repot aparat ketertiban yang mengidamkan jalanan bersih. Pelakunya juga
merentang di segala usia, namun didominasi remaja.
Dinas Sosial (Dinsos) Palembang, misalnya, memperlakukan
mereka layaknya pengemis "tak bermodal" lain, yakni dengan memakai jalur hukum.
Aksi mengecat tubuh dengan cat sablon perak dianggap sebagai pengemis gaya
baru, mengganggu pengendara jalan dan ketertiban umum. Dinsos Palembang akan
melakukan sosialisasi melarang tren ini. Bagi yang masih ngeyel, kurungan
penjara tiga bulan dan denda sampai Rp50 juta menanti.
"Pemberi dan penerima itu akan diberi sanksi kurungan tiga
bulan dan denda Rp50 juta. Itu akan kita tindak lanjuti. Kita [kami] sekarang
sedang sosialisasi di lampu merah dan untuk yang akan datang akan kita
laksanakan tindak lanjut pidananya, " kata Kabid Rehabilitasi Sosial Dinsos
Palembang Elvis Rusdy kepada Kompas. Ia mengutip Perda No. 12/2013 sebagai
landasan pelaksanaan kebijakan.
Baca Juga:
TNI Tetap Lakukan Pembebasan Sandera Tanpa Korban Jiwa Masyarakat Maupun Aparat
Yang turun tangan sudah pasti bukan cuma dinsos. Tokoh utama
untuk menertibkan fenomena ini tak lain adalah Satpol PP. Otomatis, hubungan
Satpol PP dan manusia silver se-Indonesia mirip Tom and Jerry, kejar-kejaran
meski enggak ada masalah personal di antara keduanya.
Juli lalu terjadi, Satpol PP Banyumas menangkap manusia
silver paling bandel se-Banyumas. "Kalau dilihat wajahnya, dia sudah berulang
kali ditangkap anggota [Satpol PP]. Mereka [para manusia silver] bukan
kelompok, tapi jalan sendiri-sendiri. Kami rutin melakukan operasi, beberapa
yang pernah tertangkap sudah kapok dan tidak terlihat lagi, tapi yang [satu]
ini bandel banget," ujar Kepala Satpol PP Banyumaas Imam Pamungkas kepada Kompas.
Melihat hukuman atas manusia silver di Banyumas sebatas
pembinaan, alasan kebandelan ini tentu bisa dimaklumi. Mau dibina seratus kali
pun, kalau perkara perut sebagai masalah utama enggak kunjung disentuh pemerintah,
manusia silver akan terus marak. Imam bahkan mengeluh, misal para manusia
silver ini disidang tindak pidana ringan pun, mereka belum tentu datang.
Balik ke Medan, Dinsos Kota Medan sudah memvonis manusia
silver sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Pada 12 Juni
silam, Satpol PP melakukan razia, menjaring tujuh manusia silver. Sama seperti
Banyumas, manusia silver dan korban razia PMKS lainnya (gelandangan dan
pengemis) dibawa ke rumah singgah Dinsos Kota Medan untuk dibina. Kebijakan
memerangi manusia silver terlontar kala Dinsos Kota Medan berencana membuat
razia rutin. Bagi yang terjaring dua kali, ia akan dikirim ke panti asuhan di Sumatera Utara.
Anomali justru terjadi di Jakarta Barat. Kepala Satpol PP DKI
Jakarta Arifin menyatakan
tak mempersoalkan keberadaan manusia silver. Doi
merasa kehadiran mereka tidak mengganggu ketertiban. Di samping itu, belum ada
laporan tindakan kriminal terjadi yang melibatkan manusia silver. Arifin malah
menyebut manusia silver enggak masuk kategori PMKS sebab menggunakan kreativitas mengecat tubuh untuk menarik
perhatian orang yang melihatnya.
Penertiban manusia silver memang terjadi di Jakarta Barat,
April lalu. Namun, para manusia silver ditertibkan Satpol PP atas dasar
berkerumun saat PSBB. "Mereka berkerumun dan berkumpul di tempat umum, kami
tangkap juga mereka. Kami beri tahu bahaya nongkrong di tempat umum dan kami
periksa kesehatannya," kata Kasie PPNS dan Penindakan Satpol PP Jakarta Barat
Ivand Sigiro kepada iNews. Mereka juga mendapatkan pembinaan
sebagai hukuman.
Upaya agar manusia silver tidak dianggap penyakit masyarakat
pernah dilakukan Komunitas Manusia Silver Kota Bandung pada 2013 lalu.
Koordinator Komunitas Muhammad Sulaiman mendatangi kantor dinsos untuk
audiensi, meminta dinsos menempatkan mereka secara resmi di toko-toko dan
outlet ramai Kota Bandung. Dengan izin resmi, mereka berharap masyarakat akan
memperlakukan manusia silver sebagai bentuk pertunjukan.
"Saya usul, di Bandung kan banyak toko-toko dan outlet yang
ramai. Kami ingin ditempatkan di sana, tapi harus dapat izin dari Dinsos. Saya
siapkanskillseperti pantomim atau apa saja," ujar
Sulaiman dikutip Detik. Permintaan ini lantas direspons
Dinsos Bandung dengan "pikir-pikir dulu". Mengulik berita tentang manusia
silver di Bandung pada 2017, sepertinya permintaan Sulaiman tidak dikabulkan pemerintah.
Perkara manusia silver versus aparat nyatanya enggak
sesederhana kucing-kucingan belaka. Situasi pandemi membuat segala cara
dilakukan masyarakat rentan sekadar untuk menyambung hidup. Menjadi manusia
silver terbukti menjanjikan sebagai sumber penghasilan di kala pandemi.
Misalnya Septian Yoanda dan Siti Jena yang terpaksa jadi
manusia silver untuk menyambung hidup di Jakarta Barat. Kedua perempuan berumur
17 tahun ini putus sekolah akibat kesulitan ekonomi. Mereka memutuskan jadi
manusia silver karena penghasilan ngamen menurun drastis sejak pandemi. Kini,
dalam sehari mereka berdua bisa mendapat uang sampai Rp 200
ribu rupiah.
Dari penuturan Septian dan Siti kepada Kompas, manusia silver melumuri badan dengan cat sablon berwarna
perak dengan campuranlotiondan
minyak (bisa minyak tanah atau minyak goreng). Campuran ini mampu bertahan
sampai delapan jam sebelum memudar dan luntur. Selama lima bulan beraktivitas,
Septian dan Siti mengaku belum ada efek samping yang terjadi kepada mereka.
Beda lagi dengan Suryadi, manusia silver lain dari Jakarta.
Semenjak menjadi manusia silver, ia mengaku kerap gatal-gatal. "Saya belum tahu
efek samping dari cat ini, karena di kulit misalnya kalau di kulit berkeringat
gatel, ini kayaknya efek samping sampai berkoreng gini," ujar Suryadi kepada MSN.
Menurut dokter spesialis kulit dan kelamin dr. Fitria Amalia
Umar kepada Detik, reaksi gatal, luka, dan perih adalah tanda kulit sensitif
terhadap bahan yang memang tidak ditujukan untuk kulit. Ia memperingatkan,
penggunaan bahan tak ramah kulit seperti cat sablon dalam jangka panjang bisa
menimbulkan potensi karsinogenik pemicu kanker. (Ikhwan Hastanto, Penulis Lepas, tinggal di Yogyakarta)-qnt