WahanaNew.co | Peneliti dan
pencipta GeNose Dian K. Nurputra, PhD menepis tudingan sejumlah pihak yang
menuding bahwa melonjaknya jumlah pasien Covid-19 gara-gara alat screening
tersebut tidak akurat.
Padahal, faktanya anggota
masyarakat lebih banyak yang menggunakan tes swab antigen untuk mendeteksi ada
tidaknya virus corona di dalam tubuh.
Baca Juga:
Kasus Covid RI Melonjak, Ternyata Ini Penyebabnya
"Penggunaan tes GeNose
sebagai syarat melakukan perjalanan dengan angkutan umum cuma 10 persen,
sedangkan antigen 80 persen, dan 5-7 persen memakai PCR. Kok yang disalahkan
malah GeNose, berarti ada framing yang kurang pas kalau begitu?," kata Dian,
beberapa waktu lalu.
Doktor bidang Neurogenetik
dan Epidemiologi Genetik dari Universitas Kobe, Jepang itu juga memaparkan data
positivity rate atau rasio kasus positif warga terpapar covid-19 yang
terdeteksi lewat GeNose mencapai 8-10 persen.
Angka ini mendekati hasil
Swab PCR yang positivity ratenya 15-20 persen. "Mas tahu, berapa
positivity rate swab antigen? Hanya 0,9 persen," ujar Dian tersenyum.
Baca Juga:
Covid-19 Diprediksi Alami Gelombang Ketiga dalam Waktu Dekat
Epidemiolog dari Universitas
Griffith, Dicky Budiman, pernah menyarankan tes GeNose dicabut dari syarat
perjalanan. Ia menilai, alat tes sangat berbahaya jika tetap diterapkan saat
kasus Covis sedang tinggi-tingginya. Ketua YLKI Tulus Abadi juga mengusulkan
hal serupa karena menilai akurasi GeNose rendah.
GeNose (Gadjah Mada
Electronic Nose) merupakan alat pendeteksi Covid-19 melalui napas yang dihembuskan
oleh seseorang.
Alat ini dibekali dengan
teknologi kecerdasan buatan (AI) yang bisa mendeteksi partikel spesifik
pengidap Covid-19 yang dikeluarkan pasien. Alat ini bukan mendeteksi virusnya,
tapi senyawa yang secara spesifik berbeda yang dikeluarkan orang pengidap
Covid-19. Teknologi AI menganalisis dan memberikan hasil screening-nya.