WahanaNews.co
| PT
PLN (Persero) terus memutar otak untuk menciutkan utang yang telah hampir
menyentuh angka Rp 500 triliun.
Besarnya utang PLN dinilai membuat ruang
gerak perseroan untuk berinvestasi menjadi sempit.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Direktur Utama PLN, Zulkifli Zaini,
menjelaskan bahwa pengelolaan utang PLN pada akhir Desember yakni Rp 452,4
triliun.
Posisi itu disebut 91,2 persen dari saldo
RKAP Desember 2020 revisi yang ditetapkan sebesar Rp 496,2 triliun.
Capaian itu tercatat turun 0,4 persen
dibandingkan dengan saldo 31 Desember 2019.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Zulkifli menjelaskan bahwa penurunan itu
disebabkan karena pelunasan pinjaman dan prepayment yang dilakukan
perseroan.
"Pelunasan lebih besar daripada
penarikan utang baru," katanya, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi
VI DPR, Selasa (25/5/2021).
Berdasarkan laporan keuangan PLN 2020, total
liabilitas PLN tercatat sebesar Rp 649,24 triliun.
Sementara itu, jumlah ekuitas PLN per
Desember 2020 tercatat sebesar Rp 939,81 triliun.
Zulkifli menjelaskan bahwa per April 2021,
posisi utang PLN telah mencapai Rp 448,6 triliun atau turun 0,8 persen
dibandingkan dengan saldo per 31 Desember 2020.
Dia menjelaskan, hal itu disebabkan karena
pembayaran lebih besar dibandingkan dengan penarikan pinjaman baru.
Menurut dia, posisi utang terhadap EBITDA PLN
kian membaik dari yang pernah mencapai lima kali, pada April 2021 telah menjadi
4,38 kali.
"Kami terus berupaya apabila cashflow
memungkinkan menurunkan utang. Kami akan terus membayar utang dengan suku bunga
tinggi untuk dilunasi dan mengambil utang baru dengan suku bunga rendah,"
jelasnya.
Direktur Executive Energy Watch, Mamit
Setiawan, menilai, dengan selisih antara liabilitas dan ekuitas PLN yang tidak
terlampau jauh, maka akan membuat ruang gerak PLN untuk berekspansi menjadi
sempit.
Dia berpendapat bahwa PLN harus lebih
berhati-hati dalam menjalankan program-program kerja.
Selain itu, pembangunan pembangkit baru perlu
ditinjau lagi, sehingga ke depan tidak memberatkan PLN, apalagi dengan skema take
or pay.
"PLN harus melakukan efisiensi besar-besaran
juga. Selain itu, renegosiasi dengan IPP [independent power producer]
perihal skema take or pay harus dilakukan. Apalagi konsumsi listrik
masih menurun," katanya kepada wartawan, Rabu (26/5/2021). [dhn]