WahanaNews.co | Sejumlah advikat yang tegabung dalam Tim Advokasi Peduli Administrasi Kependudukan (TAPAK) yakni Julius Simanjuntak, Santo Manalu, Johan Imanuel, James Raymond Purba, Randy Kurniawan, Samuel Sihombing dan Jeremy Hutapea sepakat jika perubahan nama yang saat ini diatur dalam UU No 24/2013 Tentang Administrasi Kependudukan (UU Administrasi Kependudukan) tidak efektif dan efisien.
Juru bicara TAPAK Julius Simanjuntak mengatakan jika pihaknya telah menerima aduan dari warga Jakarta terkait sulitnya dalam melakukan perubahan nama di Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Baca Juga:
Dampingi Massa Aksi yang Ditangkap, Tim Advokasi Klaim Dipersulit Polisi
"Ya, warga tersebut mengatakan untuk mengurus perubahan nama di KTP tidak bisa langsung dan harus ikut sidang dulu di Pengadilan,” ujarnya.
"Warga tersebut sebenarnya hanya ingin menambahkan nama baptis, tetapi dari Kelurahan katanya harus melalui Pengadilan,” sambung Julius.
Atas aduan tersebut, lanjut Julius, Tim Advokasi akan menyurati Menteri Dalam Negeri agar meninjau kembali pengaturan dalam Undang undang Administrasi Kependudukan sehingga dapat mempermudah warga negara.
Baca Juga:
Kepengurusan DPD APSiNDO Dilantik, Bupati Karo: Dapat Mendorong Perubahan Perilaku Warga Pasar
"Kami mengetahui saat ini dalam Pasal 52 UU Administrasi Kependudukan diatur bahwa peristiwa perubahan nama dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan. Kemudian warga negara melaporkan penetapan pengadilan tersebut ke catatan sipil. Nah di Pengadilan itu kan tentu harus melakukan pengeluaran biaya pendaftaran untuk penetapan perubahan nama yang belum tentu semua warga negara memiliki kemampuan tersebut. Ditambah lagi tidak semua orang mengerti prosesi perubahan nama di Pengadilan," paparnya.
Selain itu, warga berpotensi dikenakan denda apabila setelah ada penetapan pengadilan terkait perubahan nama tersebut tidak dilaporkan ke catatan sipil.
"Apalagi, ada aturan yang mengatakan paling lambat 30 hari setelah penetapan pengadilan harus lapor catatan sipil. Kalau tidak, maka akan dikenakan denda paling banyak Rp 1 juta. Ini kan jelas, justru esensi dapat menciderai tujuan hukum itu yang salah satunya adalah kemanfaatan," terangnya.