TERDONGKRAK revolusi industri dan semangat berbenah usai perang dunia kedua, kota-kota di Eropa dan Amerika tumbuh menjadi pusat ekonomi yang menyedot banyak pendatang.
Saat kesejahteraan meningkat dan penduduk terus tumbuh, permintaan pada tempat hidup serta pekerjaan lebih layak kian mendesak.
Baca Juga:
Baru Dibangun, UU IKN Alami Perombakan
Kala itu, kota-kota baru yang dibangun dari nol dan pengembangan kawasan-kawasan di luar kota inti berkembang pesat di negara-negara Barat.
Peneliti kota baru, Michelle Provoost, dalam Why Build A New Town? menyatakan, ledakan kota baru di Barat sekitar seabad lalu itu memberi bekal setumpuk pengetahuan berharga mengenai pengelolaan kota di masa sekarang dan yang akan datang.
Beberapa alasan utama pembangunan kota selalu sama, yaitu adanya pertumbuhan demografis, kelas menengah yang meningkat, dan peningkatan eksponensial standar hidup masyarakat seiring ekonomi yang membaik.
Baca Juga:
Keren! Jalan Arteri di IKN Bisa Didarati Pesawat
Di Eropa, negara-negara menyadari betul perubahan yang terjadi dan berperan sentral menciptakan masyarakat perkotaan baru.
Atas amanat pemerintah, pembangunan kota-kota baru adalah tugas paling ambisius bagi para perencana dan arsitek kota.
Hasilnya, muncul rancangan kota avant-garde yang melebihi ekspektasi zamannya.
Sebagai contoh, ada Bapak Kota Baru Ebenezer Howard yang jengah dengan kawasan-kawasan urban padat, kotor, dan suram di Inggris.
Dalam bukunya, Garden Cities of To-Morrow, Howard pada 1898 mengusung desentralisasi dengan konsep kota taman yang menawarkan kehidupan modern, energik, indah, dan menggembirakan.
Konsep ini pada dasarnya mengembangkan area-area baru di sekeliling kota utama demi mengendalikan urbanisasi.
Tiap area didominasi taman hijau tempat warga kota menyesap udara segar setiap saat.
Keberadaan kota-kota baru sekaligus sebagai sarana berbagi beban fungsi serta berbagai persoalan yang membelit kota utama.
Di tiap kota baru ada pembatasan jumlah populasi demi mengontrol kepadatan demi menjaga kesehatan kota.
Ada pemisahan zonasi untuk berbagai fasilitas, seperti pendidikan, bisnis, industri, kawasan pertanian penyokong ketahanan pangan urban, dan lainnya.
Ada pula pembagian status dan fungsi akses penghubung mencakup jalan lingkungan, kabupaten, antarkota dan ke kota utama.
Disediakan juga transportasi publik seperti kereta komuter dan bus.
Di akhir hidupnya, Howard disemayamkan di salah satu kota taman pertama di sekitar London, yaitu di Welwyn Garden City, Hertfordshire, tahun 1928.
Pasca-kepulangan Howard ke keabadian, gerakan kota taman Howard justru terus menggelora memengaruhi hingga tingkat dunia.
Jika melihat kembali fenomena kota baru di dunia Barat di masa lalu dengan kota taman di dalamnya, Provoost melihat bahwa perencanaan tata ruang, juga desain kota, sarat akan nilai dan norma.
Di sana ada gerakan reformasi sosial, seperti halnya gerakan kota taman sebagai contoh perwujudan kota fungsional untuk tempat tinggal kelas pekerja.
Selain itu, dampak Perang Dunia II turut berkontribusi pada munculnya konsensus bersama tentang perlunya melibatkan seluruh penduduk Eropa dalam pembaruan kota dan perdesaan yang demokratis dan modern.
Menurut Provoost, penataan ruang dan arsitektur publik dalam desain perkotaan Barat masih kental nilai-nilai sosial kolektif, agenda reformasi, demokratisasi, dan pembangunan masyarakat yang bersifat terbuka.
Walaupun demikian, kuatnya nilai yang dipegang serta kendali penuh dari pemerintah tidak bisa menutupi fakta bahwa tetap ada segregasi sosial akibat pembangunan kota baru di Eropa dan Amerika Serikat.
Pada perkembangannya, kota baru ditinggalkan.
Lalu, dunia Barat cenderung memilih meremajakan kawasan urban eksisting demi menampung tuntutan menjadi kota sehat tanpa harus merebut atau menguruk lahan baru.
Kini, mereka beralih ke penataan kawasan hijau dan ekonomi sirkular yang seminimal mungkin mengeksploitasi lingkungan dan menekan produksi limbah kota.
Produk Komersial
Kala perkembangan perkotaan Barat berubah arah, pertumbuhan ekonomi dan ledakan penduduk di Asia justru menarik fenomena kota baru ke benua ini.
Hal tersebut berlangsung sejak setidaknya menjelang akhir abad ke-20 dan diprediksi akan terus berlangsung di sepanjang abad ke-21.
Namun, di Asia ada gejala perkembangan kota baru yang berbeda.
Bukan pekerja migran yang pindah dari perdesaan ke metropolitan dan menjadi penduduk kota baru.
Migran baru yang masih memperjuangkan ekonominya biasa berlabuh menemukan kamar atau hunian murah di tengah kepadatan kota.
Kelas menengah yang sedang naik daunlah sasaran pasar kota baru.
Akses ke kota utama tetap dibangun yang didominasi jalan bebas hambatan.
Sistem angkutan publik massal baru terpikir belakangan.
Provoost menyatakan, dengan menarik orang berkantong tebal, area urban baru menjadi semacam tempat bagi kaum berpunya berpaling dari hiruk-pikuk kota.
Kota baru di Asia bukanlah respons atas urbanisasi, melainkan pelarian yang berpotensi menduplikasi isu-isu urban yang sama.
Perbedaan lain, katanya, kota-kota baru di Eropa dulu diprakarsai, diorganisasi, dan dibiayai oleh pemerintah atau negara untuk mengelola pertumbuhan metropolitan dan menyediakan perumahan bagi semua lapisan penduduk.
Di era baru saat ini, terutama di Asia, sebagian besar peran negara itu diambil alih perusahaan multinasional besar, yang bekerja dengan prinsip berbeda.
Menurut Provoost, renggangnya kontrol pemerintah membuat pertumbuhan dan perkembangan kota baru di Asia tidak ambil pusing pada akar sosial dan budaya.
”Ini menjelaskan mengapa kota-kota baru Asia bisa begitu elitis tanpa malu-malu, begitu berani menjadi sangat komersial, sangat dangkal (dari sisi nilai sosial budaya yang dianut), sangat tidak benar secara politis di mata Barat. Bahkan, ketika kota-kota ini sebenarnya dirancang oleh kantor-kantor Barat,” tulis Provoost.
Dalam catatan Provoost, banyak kota baru yang sedang dikembangkan di Asia diprakarsai dan dirancang oleh perusahaan Barat.
Perusahaan seperti KCAP dan Kuiper Compagnons dari Belanda; lalu Atkins, Foster, dan HOK dari Inggris; GMP dari Jerman; dan SOM dan KPF dari AS, memanen gelombang pekerjaan Kota Baru seperti di Arab Saudi, Korea Selatan, Azerbaijan, dan Filipina.
Di Indonesia hal serupa terjadi.
Untuk calon ibu kota negara (IKN) baru di Kalimantan Timur, pada awal 2020, pemerintah resmi mengumumkan menggandeng dya konsultan asal AS, yaitu McKinsey dan Aecom, serta satu konsultan asal Jepang, Nikken Sekkei.
Selanjutnya, di balik perancang kota dan desainer lokal yang turut digandeng, proyek IKN tetap menjadi garapan bersama dengan investor dan perusahaan global.
Pihak swasta yang menguasai gerakan kota baru menunjukkan motif ekonomi menjadi faktor dominan di Asia.
Di tingkat pemerintahan, mereka biasanya menjadi bagian dari strategi merangsang, mendiversifikasi, dan mempercepat ekonomi regional atau nasional.
Di tingkat pengembang, produk desain, perencanaan, dan pembangunan kota baru dapat menjadi bisnis besar yang sangat menguntungkan.
”Tren di Asia ini menandai untuk pertama kalinya dalam sejarah kota, kota baru dapat dianggap sebagai produk komersial,” tulis Provoost lagi.
Rebakan Urban
Pejuang kota ideal masa kini yang menjunjung kawasan urban berkelanjutan serta penyelamatan bumi mengutuk keras fenomena akuisisi jutaan hektar lahan baru untuk kota-kota baru di Asia.
Meskipun demikian, tren produk komersial kota baru ternyata mulai berjangkit kembali di ”Benua Biru” itu, khususnya di Eropa Timur dan tetangga mereka, Rusia.
Di sisi lain, negara di Asia seperti China dengan lebih dari 400 proyek kawasan urban anyar dan India menolak dihujat.
Mereka justru menyatakan memiliki konsep kota baru ramah lingkungan dan menjamin keberlangsungan kota-kota lokal bersejarah.
Sejauh ini, kawasan-kawasan bernilai historis tinggi bersemi kembali di antara kota-kota baru yang ikonis dan modern di Asia, termasuk di Indonesia.
Di tengah perang antara hujatan dan klaim keberhasilan kota baru Asia, para peneliti dan pengamat perkotaan mengajak publik melihat kembali pada fenomena urban sprawl atau rebakan urban yang tak bisa dipisahkan dari tren menjamurnya kota baru.
Indonesia menjadi salah satu tempat tumbuh suburnya rebakan urban.
Rebakan urban ini terjadi, antara lain, ketika negara tidak mampu mengendalikan pertumbuhan maupun pemerataan ekonomi yang berbarengan dengan ledakan penduduk sehingga masyarakat sebagai individu maupun swasta mengambil alih peran dengan memenuhi sendiri berbagai kebutuhan dasarnya.
Selain menyesaki setiap sudut di bagian dalam kota yang masih menyediakan rumah murah, kaum urban juga aktif mengambil alih lahan di sekitar kota utama.
Pihak swasta kemudian menyambutnya dengan menyemai bibit pertumbuhan kota baru.
Di negeri ini, rebakan urban menghasilkan kawasan raksasa Jabodetabek yang penuh sesak sejak sekitar tahun 1980 sampai sekarang.
Hampir separuh abad berlalu, sebagai kawasan yang selalu disebut sebagai pusat penggerak 70 persen ekonomi Indonesia, Jabodetabek masih terengah-engah mengikis ketertinggalan dalam penyediaan air bersih dan drainase memadai bagi lebih dari 30 juta warganya.
Di Jabodetabek ini, masih menumpuk pula pekerjaan rumah membangun jaringan transportasi publik untuk mengatasi kemacetan, menekan polusi udara, menyediakan alternatif bermobilitas murah, sehat, lagi ramah lingkungan bagi masyarakat menengah ke bawah.
Ini belum termasuk tuntutan menyediakan hunian urban sehat tetapi terjangkau yang masih jauh dari tercapai.
Yang menyedihkan, apa yang terjadi di Jabodetabek diduplikasi di kawasan metropolitan lain di Indonesia.
Isu banjir, kemacetan, air bersih, hingga kemiskinan dan ketimpangan pun direplikasi seiring peningkatan kegiatan ekonomi di kawasan-kawasan tersebut.
Kota-kota baru besutan swasta menjamur di tengah pesatnya pertumbuhan kawasan.
Menyatakan diri laksana permata dan oase di antara keruwetan metropolitan, tetapi senyatanya kota-kota baru menjadi bagian dari permasalahan urban itu sendiri.
Pembiayaan dan teknologi terkini memungkinkan kota baru secara fisik semakin cepat dibangun di mana saja.
Namun, agar pusaran masalah tidak terus berputar dan membesar, negara seperti Indonesia perlu dan harus kembali menggali dan menemukan visi baru pembangunan kawasan perkotaan yang relevan sesuai tuntutan masyarakat modern juga seruan merevitalisasi lingkungan alam global.
Di Indonesia, peran negara sebagai penentu kebijakan dan wasit agar pembangunan tidak menyimpang haruslah diperkuat.
Pembangunan ibu kota negara --jadi pindah atau tidak-- menjadi pertaruhan sekaligus awal dan arah baru mengembangkan kawasan perkotaan yang tepat.
Visi, misi, dan target sepatutnya dibuat berdasar riset mendalam yang berorientasi pada kepentingan bersama seluruh negeri.
Janganlah semata lip service memuluskan jalan bagi kehadiran produk komersial baru yang lagi-lagi hanya menguntungkan segelintir pihak saja. (Neli Triana)-yhr
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Tren Kota Baru, Produk Komersial yang Melawan Urbanisasi”. Klik untuk baca: Tren Kota Baru, Produk Komersial yang Melawan Urbanisasi - Kompas.id.