Kedatangan itu diketahui sehari setelah Athok membuat surat pernyataan meminta autopsi didepan kuasa hukumnya. Namun surat itu diakuinya baru berupa draf dan masih membutuhkan tandatangan dari kepala desanya sebagai saksi.
"Pak Athok juga kaget. Dia merasa bahwa itu masih draf kok ini sudah kemana-mana. Itu masih draft hanya difoto penasehat hukum dan aslinya masih dibawa dia dan dia ingin minta tanda tangan Pak Kades dan kita konfirmasi kepada Pak Kades memang demikian yang terjadi. Dia ingin minta agar Pak Kadesnya mengetahuinya," ujarnya.
Baca Juga:
Ingat Suporter Mengerang di Kanjuruhan, Panpel Arema FC Menangis
Kemudian, pada 12 Oktober, empat orang polisi dari Polres Kepanjen kembali mendatang rumahnya untuk menanyakan proses autopsi yang rencananya digelar pada tanggal 20 Oktober.
Namun, kata Anam, pada tanggal 11 dan 12 Oktober saat polisi datang, posisi Athok tanpa pendamping atau kuasa hukumnya.
"Dia coba menghubungi teman-temannya, pendamping-pendamping dan lain sebagainya itu tidak ada yang bisa menemani dia di saat itu. Sehingga dia juga semakin khawatir," ucap dia.
Baca Juga:
Sidang Kanjuruhan, Ahli: Gas Air Mata Tak Bisa Dideteksi di Jenazah
"Ini kok ada polisi datang, pendampingnya, kuasa hukumnya ketika dihubungi memang tidak bisa hadir dengan berbagai alasannya di saat kepolisian datang," imbuhnya.
Pada 12 Oktober itu, Athok menandatangi surat persetujuan autopsi anaknya. Akan tetapi, pada tanggal 17 Oktober sebanyak 17 orang polisi dari Polda Jawa Timur kembali mendatanginya masih terkait proses autopsi.
Kedatangan polisi bersama camat dan kepala desa. Namun, kata Anam, Athok masih tidak ditemani pendamping.