Oleh SUTRISNO
Baca Juga:
SDN 001 Kepenghuluan Kencana Rokan Hilir Ludes Dilalap Si Jago Merah
PERKEMBANGAN keyakinan dan pemikiran manusia tentang pendidikan sekarang ini melahirkan beberapa ideologi dan paradigma dalam merumuskan hakikat, tujuan, dan metode dalam sistem pendidikan nasional.
Dari beberapa ideologi dan paradigma ini memunculkan gagasan baru dengan lebih memilih dan menggunakan ekonomi politik sebagai fondasi utama dalam sistem pendidikan nasional.
Baca Juga:
Dana Alokasi Khusus Demi Pendidikan Majene. Kabid : Pekerjaan Harus Sesuai.
Namun, kenyataannya sistem pendidikan seperti ini mengalami dekadensi dan degradasi standar moral bangsa.
Faktor utama penyebabnya adalah sistem pendidikan kita telah mengingkari visi dan misi utamanya, seperti yang disampaikan pahlawan pendidikan kita Ki Hajar Dewantara tentang ”memanusiakan manusia”.
Driyarkara (1980) menguraikan bahwa pendidikan merupakan homonisasi dan humanisasi, dengan kata lain, berarti pendidikan sebagai proses menjadi manusia yang manusiawi.
Drost (1998:2) menegaskan visi yang sama dengan Driyarkara, yaitu memanusiakan manusia sebagai inti pendidikan.
Proses memanusiakan manusia terjadi demi kemandirian si individu bersangkutan, tetapi juga ”demi masyarakat karena manusia itu adalah manusia demi manusia-manusia lain”.
Namun, sayangnya, proses pendidikan memanusiakan manusia belum terimplementasi dengan baik.
Dunia pendidikan dihebohkan oleh aksi anarkisme anak sekolah dasar (SD).
Aksi anarkis anak SD antara lain terjadi di Lubuk Ngin, Kecamatan Selangit, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan.
AFS (12), murid SD Negeri 1 Lubuk Ngin, dianiaya oleh empat temannya di dalam kelas, dan mengalami patah tulang leher dan sempat koma selama tiga hari (Kompas.com, 14/10/2021).
AFS kini lumpuh total. Korban bahkan sempat hilang ingatan dan tidak mengenali orangtuanya (Kompas.TV, 22/10/2021).
Peristiwa itu bukanlah yang pertama.
Renggo Khadafi (11), siswa kelas V SD di Jakarta Timur, meninggal karena dipukuli kakak kelasnya. Penyebabnya sepele, pisang goreng yang dipegang kakak kelas jatuh tersenggol Renggo.
Fajar Murdianto (12), siswa kelas V SDN Klumprit 1 Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, juga tewas, diduga karena dikeroyok teman sekolahnya.
Kasus perundungan (bullying) anak di sekolah di Indonesia sangat parah.
Perilaku ini sudah terjadi di hampir seluruh sekolah di Indonesia.
Pendidikan yang seharusnya memanusiakan manusia, kerap menjadi tempat suburnya praktik-praktik kekerasan.
Anarkisme anak SD tersebut mencerminkan betapa dunia pendidikan gagal dalam pembentukan manusia yang berilmu pengetahuan dan bertakwa kepada Tuhan.
Pendidikan yang menjadi basis dan kawah candradimuka peradaban, jelas menghadapi tantangan yang makin rumit dan kompleks.
Dunia pendidikan tak hanya dituntut untuk mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa didik, tetapi juga harus mampu menjalankan peran dan fungsinya untuk menaburkan, menanamkan, menyuburkan, dan sekaligus mengakarkan nilai-nilai akhlak dan budi pekerti sehingga keluaran pendidikan benar-benar menjadi sosok yang ”utuh” dan ”paripurna”; menjadi pribadi yang berkarakter jujur, rendah hati, dan responsif terhadap persoalan-persoalan kebangsaan.
Anarkisme anak SD merupakan cermin kegagalan sebuah sistem pendidikan.
Ada yang salah dalam sistem pendidikan di negeri ini, hilangnya etika, perilaku baik, disiplin, merasa benar sendiri, serta tidak menghargai orang lain.
Sistem dan kurikulum pendidikan di Indonesia saya kira telah kehilangan roh dan maknanya serta tercerabut dari akar budayanya sendiri.
Pendidikan di Indonesia juga alpa dengan sistem meritokrasi (proses pencapaian-pencapaian prestasi) sehingga hanya menciptakan manusia-manusia medioker.
Longgarnya pengawasan dari orangtua dan guru menambah liarnya kebanyakan siswa sehingga hanya akibat sepele atau iseng bisa menimbulkan kekerasan.
Kekerasan yang terjadi merupakan ekspresi dari atmosfer yang mendorong terjadinya kekerasan.
Inilah yang oleh Johan Galtung disebut sebagai ”lingkaran setan kekerasan” (vicious cycle of violence).
Kita seolah-olah melihat lingkaran setan kekerasan dalam pendidikan yang akan terus berputar tanpa tahu harus berhenti di mana.
Harus diingat, bahwa anak SD sebagai generasi pelanjut kepemimpinan bangsa, eksistensinya sangat menentukan nasib bangsa ini di masa depan.
Oleh karena itu, sangat disayangkan jika sikap dan tindakan siswa SD tidak mencerminkan sebagai generasi bangsa yang berkualitas.
Lalu, bagaimana menghapus kekerasan (bullying) di sekolah?
Dari pihak sekolah, perlu pembenahan sistem pendidikan.
Pengembangan model pembelajaran problem solving based bisa menjadi solusi.
Inti pembelajaran di sekolah, menurut Gagne’s (1980), adalah mendorong pelajar mampu berpikir logis, sistematis, dan menjadi pemecah masalah yang baik (better problem solvers).
Selanjutnya, penguatan kultur akademik sekolah yang demokratis dan egaliter.
Ini membebaskan sumbat-sumbat impuls pemicu awal tindak kekerasan.
Selain itu, penyediaan lingkungan alam dan sosial pendidikan yang memadai, nyaman, aman, dan menyenangkan akan mengabsorb impuls penyebab tindak kekerasan di luar sekolah.
Institusi sekolah juga jangan menekan siswa dengan berbagai tuntutan dan beban tugas sekolah yang berlebihan.
Begitu pula dengan orangtua.
Sebaliknya perhatikan dan kembangkan kompetensi tiap pribadi.
Dengan begitu, ia akan dapat mengembangkan dirinya dalam kegiatan yang positif sehingga ia tidak sempat ikut melakukan aksi kekerasan.
Virus-virus optimisme, kemandirian, dan kebersamaan harus ditularkan kepada semua pemangku kepentingan di sekolah.
Dari sisi siswa, perilaku kekerasan yang sama sekali jauh dari identitas dirinya sebagai pelajar harus dihindari.
Mendesain agenda program yang lebih menguatkan eksistensi diri sebagai seorang pelajar.
Siswa SD cenderung senang untuk belajar secara langsung karena rasa ingin tahu lebih tinggi dan suka berkelompok.
Di sinilah siswa SD harus membiasakan diri untuk berperilaku yang tidak menyimpang dari kegiatan pembelajaran.
Dukungan pemerintah dan masyarakat juga tidak kalah pentingnya.
Pemerintah melalui Kemendikbudristek bisa membangun relasi dan kerja sama yang lebih baik, khususnya dalam meningkatkan produktivitas siswa dalam belajar dan berkarya.
Peran penting masyarakat juga tidak bisa diremehkan.
Memberikan dorongan dan semangat bagi para siswa dalam berbagai kegiatan kesiswaan ekstra sekolah, yang bisa mendekatkan siswa dengan masyarakat termasuk antarsiswa lintas sekolah itu sendiri.
Pemerintah harus proaktif mengawasi media yang menyiarkan kekerasan, baik media elektronik maupun internet (medsos).
Dalam lingkungan sosial, tanggung jawab pendidikan siswa berada di tangan semua elemen masyarakat.
Pendidikan di sini senada dengan pendapat Driyarkara, bahwa pendidikan itu memanusiakan manusia.
Ingat bahwa pendidikan bukan hanya mengutamakan segi kognitif dan psikomotorik, melainkan juga afektif.
Justru dengan memperhatikan afeksi, siswa akan mencapai identitas yang sehat.
Upaya memutus mata rantai kekerasan di sekolah memerlukan upaya menyeluruh.
Anarkisme anak SD semakin meyakinkan akan pentingnya pendidikan karakter dan budi pekerti di sekolah.
Pendidikan karakter menjadi sangat urgen untuk diterapkan.
Pemerintahan Joko Widodo sangat ditantang untuk mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai pilar kekuatan bangsa.
Apa pun ceritanya, perundungan/kekerasan di sekolah harus dihapus dan dihentikan.
Sebab, pendidikan dengan kekerasan masih terdapat di dalamnya telah kehilangan filosofi dan tujuannya.
Dan kehilangan kedua pilar ini sangat berbahaya bagi perjalanan bangsa ini ke depan. (Sutrisno, Pendidik, Alumnus Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta)-qnt
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Anarkisme Anak SD”. Klik untuk baca: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/10/29/anarkisme-anak-sd.