BARU-baru ini viral di media sosial, sebuah narasi video seorang perempuan/nenek, yang ditolak membayar dengan uang cash oleh sebuah gerai roti (Roti O), tersebab gerai tersebut hanya melayani pembayaran via QRIS saja. Kemudian kasus tersebut diprotes oleh konsumen lain, seorang pemuda.
Saat ini fenomena pembayaran via QRIS memang semakin eskalatif, bahkan bukan hanya di merchant merchant besar saja, tetapi sudah merambah ke kalangan merchant UKM-UMKM.
Baca Juga:
QRISTAL Kasuari 2025: Memperkuat Transformasi Pembayaran Digital di Papua Barat Daya
Masyarakat pun sepertinya makin enjoy dengan sarana pembayaran QRIS tersebut. Namun menjadikan sarana tunggal untuk transaksi, dan menolak uang cash sebagai sarana pembayaran, jelas tidak dibenarkan, baik dari sisi regulasi dan atau sosiologis.
Merujuk pada UU tentang Uang, maka uang adalah sarana absah untuk transaksi pembayaran di Indonesia. Dan dari sisi sosiologis tentu penggunaan uang sebagai sarana transaksi masih lebih dominan, dari pada menggunakan QRIS dan atau transaksi non cash lainnya.
Oleh sebab itu, menolak transaksi dengan uang cash adalah tindakan yang tidak dibenarkan dari sisi regulasi, baik pada konteks UU tentang Uang dan atau UU tentang Perlindungan Konsumen.
Baca Juga:
Dorong Talenta Berkinerja Tinggi, PANRB Rumuskan Ulang Kebijakan Pengelolaan Kinerja ASN
Sebagai konsumen, punya hak memilih untuk menggunakan berbagai sarana transaksi, baik cash maupun non cash. Apalagi jangkauan pengguna QRIS dan atau transaksi non cash belum mendominasi dalam ranah transaksi di Indonesia.
Bagaimana tren penggunaan QRIS dan transaksi non cash di Indonesia?
Di Indonesia pertumbuhan penggunaan transaksi QRIS memang bertumbuh secara signifikan. Terbukti pada 2024 mencapai 6,24 miliar transaksi dengan nilai nominal mencapai Rp 659,93 triliun; bertumbuh 194,04 persen.