WAHANANEWS.CO – Kabupaten Aceh Singkilakhir-akhir ini mengemuka dalam berbagai pemberitaan pers Indonesia. Hari Selasa, 17 Juni 2025, Presiden Prabowo dalam rapat koordinasi terbatas dengan Wakil Ketua DPR, Mendagri, Mensekneg, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), dan Gubernur Sumatera Utara telah disepakati bahwa ke empat pulau, yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek di wilayah Kabupaten Aceh Singkil Provinsi Aceh dengan Keputusan Mendagri 25 April 2025 yang lalu, telah dikembalikan kepada Provinsi Aceh.
Mendagri Tito Karnavian dimintakan oleh Mensekneg untuk menjelaskan kronologisnya sehingga kembali kepada posisi awal bahwa keempat pulau itu berada di wilayah Provinsi Aceh. “Engkau yang memulai dan engkau yang mengakhiri”. Mendagri Tito menguraikan seolah-olah tak ada beban membantah omongannya sendiri yang dituangkan dalam Keputusan Mendagri itu.
Baca Juga:
Prabowo, Hati-Hati
Begitu mudahnya Kemendagri mengutak-atik fakta dan dokumen yang dimiliki, tergantung apakah dicari dengan sungguh-sungguh atau tidak, yang saya ungkapkan dalam tulisan terdahulu, “brengsek-nya” birokrasi Kemendagri dalam men-tracing dokumen original kesepakatan Ibrahim Hasan sewaktu menjadi Gubernur Aceh dengan Raja Inal Siregar sebagai Gubernur Sumatera Utara yang disaksikan Mendagri Rudini di tahun 1992 yang lalu bahwa keempat pulau itu milik Provinsi Aceh.
Kita ditampilkan tontonan dibolak-baliknya cakap Mendagri karena ancaman Presiden untuk mengambil alih persoalan. Masyarakat luas menonton breaking news TVOne dan melalui berbagai pemberitaan lainnya.
Penandatanganan kesepakatan antara dua Gubernur dan disaksikan Kemendagri tanggal 17 Juni 2025 harus dilanjutkan dengan pencabutan Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang terbit pada 25 April 2025 lalu, dan diganti dengan kepmendagri yang mengoreksi kepmendagri sebelumnya.
Baca Juga:
Bukan Migas, Ini yang Diutamakan Wali Nanggroe Soal 4 Pulau Sengketa
Tidak cukup dengan kepmendagri, tetapi harus ditetapkan dalam bentuk permendagri sebagai suatu produk hukum yang kuat sesuai dengan UU Penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
Pembusukan dan pembiaran
GENG SOP ‘Solo-Oligarki-Parcok’ yang berada di luar dan di dalam Pemerintahan Prabowo sudah menunjukkan indikasi-indikasi yang menyulitkan Prabowo. Kebijakan-kebijakan kementerian yang ceroboh, konyol, merepotkan presiden, merugikan rakyat, bahkan tidak sejalan dengan arah kebijakan Prabowo selama 6 bulan ini sudah banyak terjadi.
Kasus eksplorasi nikel Raja Ampat sampai seorang Menteri ESDM Bahlil Lahadalia di demo masyarakat Raja Ampat. Menkop Budi Arie Setiadi yang tersangkut kasus judi online, masih eksis sebagai menkop yang akan mengelola dana APBN untuk 80 koperasi merah putih, dan teranyar sengketa “pencaplokan” 4 pulau di Kabupaten Aceh Singkil Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam oleh pemerintah pusat (kemendagri) kalau ditelusuri lebih dalam tidak terlepas dari “sudah tercemarnya” para pejabat birokrasi dari penyakit ABS (asal bapak senang) dan HSM (hilang syaraf malu), sehingga menghasilkan suatu kebijakan yang komplikasi.
Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang terbit pada 25 April 2025 merupakan kebijakan yang menimbulkan komplikasi. Mengapa komplikasi? Kita simak apa yang dikatakan Mendagri dalam Breaking News TVOne, terbitnya Kepmendagri 2138 itu didasarkan tidak ditemukan dokumen asli, tetapi hanya fotokopi maka Kepmendagri yang diterbitkan tetap memposisikan 4 pulau “sengketa” berada di wilayah Sumatera Utara.
Kesepakatan para pihak untuk menampilkan dokumen ASLI tidak ditemukan. Secara administratif dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, “Hilangnya” dokumen asli itu tanggung -jawab Kemendagri.
Dalam suatu pengelolaan arsip pemerintah, tentu suatu dokumen MoU ada draftnya, dan seharusnya draft itu disimpan dalam sistem arsiparis yang rapi, apalagi Kemendagri suatu lembaga pemerintah yang besar punya standar operasional prosedur (SOP) penelusuran dokumen yang rapi.
Pertanyaan mendasarnya, apakah sudah benar dilakukan penelusuran dokumen, apa mungkin tidak ditemukan secarik berkas terkait draft kesepakatan itu. Atau memang tidak sungguh-sungguh mencarinya. Atau ada intervensi pihak tertentu atau bahkan pejabat tertentu yang punya agenda tertentu untuk tidak mencarinya.
Ada yang menarik apa yang dikatakan Mendagri, pernyataan bahwa jika dokumen asli tidak ada, dikhawatirkan ada persoalan hukum dibelakang hari. Penjelasan ini tidak profesional, sebagai seorang Jenderal Polisi dan mantan Kapolri apalagi sudah 5 tahun menjadi Mendagri, alasan ada persoalan hukum sangat naif. Berbagai cara bisa bisa dilakukan, misalkan dinotariskan, atau pakai tuh, digital Forensik Bareskrim Polri. Ijazah Jokowi saja, bisa dinyatakan asli oleh digital forensik Bareskrim Polri.
Pertanyaan besarnya, kenapa Mendagri Tito percaya begitu saja apa yang disampaikan bawahannya? Apakah Mendagri tidak punya pikiran bahwa jika Kepmendagri yang diterbitkan itu karena tidak ada dokumen asli, padahal keberadaan dokumen itu tanggung-jawab Mendagri, akan menimbulkan komplikasi kebijakan, bahkan berdampak secara luas kredibilitas Pemerintah Pusat di mata Pemerintah Daerah khususnya yang pulaunya “dicaplok” akan berada pada titik nol.
Lantas, setelah heboh bahwa Presiden Prabowo akan mengambil alih persoalan, baru Mendagri kalang kabut, Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya menjelaskan kepada Pers, sebagaimana yang dikatakan Tito, bahwa atas perintah Mendagri Tito, supaya dicari lagi dokumen terkait sampai dapat. Akhirnya, dapatlah dokumen Kepmendagri terkait kesepakatan Kedua Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut yang menyepakati 4 pulau dimaksud berada di wilayah Provinsi Aceh.
Tragis dan dramatis. Pembusukan dan pembiaran suatu kebijakan pemerintah sebagai suatu kebijakan publik, salah satu faktor yang penting menurut Teori Van Horn dan Van Meter, dan juga oleh Edward George III, adalah peranan birokrasi, disamping komunikasi dan sumber-sumber.
Lahirnya Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, dari fakta proses pembuatannya yang disampaikan oleh Mendagri, ada tahapan proses yang tidak dikerjakan. Ada tahapan yang melompat, bahkan patut diduga sengaja dilakukan birokrasi karena adanya kepentingan tertentu, sehingga birokrasi sebagai mesin pemerintah bekerjanya dibawah standar.
Apakah ada “pembusukan dan pembiaran” dari dalam dan dimulai dari level birokrasi yang mana, atau memang apa yang dikatakan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, ibarat ikan mati, pembusukan itu terjadi dari kepala ikan itu sendiri.
Presiden Prabowo, disarankan agar dalam berbagai arahan kebijakannya, perlu juga melakukan langkah-langkah sistematik dan taktis, untuk mencegah meluasnya potensi gerakan pembusukan dan pembiaran kebijakan dan implementasi kebijakan yang merugikan rakyat, bahkan pemerintahan dan negara yang sedang dipimpin oleh Prabowo.
Dari fakta-fakta kejadian satu semester Pemerintah Prabowo, sudah terendus dan menjadi pembicaraan masyarakat luas bahwa para Menteri GENG SOP terindikasi terjadinya konspirasi gerakan pembusukan dan pembiaran kebijakan.
Ada dua model yang mungkin sedang berlangsung. Model pertama, menteri yang “diternak” Mulyono, dan masuk dalam inkubator Prabowo, menerapkan teori ikan mati, busuk mulai dari kepala. Atau model Kedua, lingkungan birokrasi yang dibangun itu memang sudah bau busuk dan terbiasa mencium bau busuk dan membiarkannya. Prabowo dan para loyalis 24 karatnya, dapat memetakannya, sehingga apa yang akan dilakukan Presiden atas para Menterinya berdasarkan evidence based dan menjadi modal sosial dan modal politik dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Kasus-kasus yang terjadi di kementerian dan paling hot Nikel Raja Ampat, pencaplokan 4 pulau di Provinsi Aceh supaya tidak terulang lagi di kementerian lain. Mitigasi resiko harus diambil Prabowo. Caranya bagaimana? Tidak perlulah mengajari bebek berenang. Ada teman dalam diskusi menyarankan agar menteri yang menimbulkan common enemy ‘musuh bersama’ diangkat saja menjadi duta besar, dikirim ke negara kecil yang jauh. Tujuannya, untuk memutuskan mata rantai jaringan GENG SOP. Menarik juga usul teman diskusi itu, sebagai suatu alternatif. Jika terjerat kasus hukum kirim ke Nusakambangan saja.
Rekomendasi
Sebaiknya, Presiden Prabowo tidak bekerja seperti pemadam kebakaran saja, tetapi harus menghanguskan sumber yang menimbulkan kebakaran itu. Bagaimana cara menghanguskan, tugaskan saja aparatur penegak hukum (APH), yang bersih, berintegritas, dan siap mewakafkan jiwanya untuk bangsa dan negara. Apakah mereka itu masih ada? Masih banyak, tetapi biasanya jarang ingin menampilkan dirinya.
Cibubur 18 Juni 2025
*) Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS