Oleh ARIF SATRIA (Rektor IPB dan Ketua Umum ICMI)
Baca Juga:
Diundang Nyanyi di Rumah Konglomerat, Farel Prayoga Lagi-lagi Bikin Ambyar
SETIAP perayaan hari kemerdekaan kita selalu ingat janji kemerdekaan.
Janji tersebut termuat dalam Pembukaan UUD 1945, pemerintah negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Dua tujuan penting, yaitu kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, masih perlu terus untuk diperjuangkan.
Baca Juga:
Galang Antusiasme Peringati HUT RI, KDEI Taipei Ajak WNI di Taiwan Bersepeda Bersama
Agenda kesejahteraan umum berkaitan dengan isu kemiskinan dan pengangguran serta agenda mencerdaskan kehidupan bangsa berkaitan dengan isu pendidikan.
Kedua isu tersebut masih terus relevan hingga hari ini saat kita sudah 77 tahun merdeka.
Kemiskinan dan Pengangguran
Kemiskinan masih menjadi masalah bagi dunia ketiga seperti Indonesia.
Meski angka kemiskinan absolut secara signifikan turun dari tahun ke tahun, isu itu masih terus mengemuka karena memang telah menjadi agenda global melalui sustainable development goals (SDGs).
Lebih-lebih di saat pandemi Vovid-19, masalah kemiskinan makin terasa karena tekanan ekonomi nasional maupun global memang nyata.
Indonesia ialah negara yang kini mampu memperbaiki angka penurunan kemiskinan pasca-Covid-19.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, persentase penduduk miskin di Indonesia sebesar 9,54% per Maret 2022.
Angka itu menurun 0,17 poin jika dibandingkan dengan September 2021 yang sebesar 9,71%.
Angka kemiskinan Indonesia pada Maret 2022 menunjukkan perbaikan alias yang terendah sejak pandemi Covid-19 melanda Tanah Air.
Meski demikian, turunnya angka kemiskinan Indonesia belum mampu mencapai angka yang lebih rendah jika dibandingkan dengan sebelum pandemi Covid-19.
Sementara itu, isu pengangguran juga menjadi isu serius saat pandemi meski kini telah berangsur membaik.
BPS mencatat, jumlah angkatan kerja pada Februari 2022 sebanyak 144,01 juta orang, naik 4,20 juta orang ketimbang Februari 2021.
Penduduk yang bekerja sebanyak 135,61 juta orang, naik sebanyak 4,55 juta orang dari Februari 2021.
Lapangan pekerjaan yang mengalami peningkatan persentase terbesar ialah sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (0,37% poin).
Sementara itu, lapangan pekerjaan yang mengalami penurunan terbesar ialah sektor jasa lainnya (0,51% poin).
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) Februari 2022 sebesar 5,83%, turun sebesar 0,43% poin jika dibandingkan dengan Februari 2021.
Terdapat 11,53 juta orang (5,53%) penduduk usia kerja yang terdampak covid-19.
Bonus Demografi dan Pendidikan
Kemiskinan dan pengangguran harus terus diatasi.
Lebih-lebih kita sedang mengalami bonus demografi.
Bonus demografi terjadi karena penduduk usia produktif (15-64 tahun) dominan.
Bonus demografi itu bisa menjadi kesempatan bagi kita menjadi bangsa besar.
Namun, juga bisa berbahaya apabila kita tak mampu memanfaatkan momentum itu.
Sebagai contoh, Brasil, Afrika Selatan, India, dan Pakistan dianggap gagal memanfaatkan bonus demografi karena gagal mencetak anak muda untuk kreatif-produktif.
Sebaliknya, Korea Selatan dan Tiongkok dianggap sukses mendapatkan bonus demografi dengan tumbuhnya kaum muda kreatif-produktif.
Oleh karena itu, penguatan kualitas kaum muda harus menjadi fokus.
Salah satu agenda yang penting ialah terus meningkatkan kualitas pendidikan berbagai jenjang dan jenis.
Pendidikan ialah institusi terbaik untuk meningkatkan kualitas kaum muda.
Pendidikan juga menjadi institusi terbaik untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran.
Lebih-lebih pendidikan tinggi akan menjadi tumpuan besar bagi penanggulangan kemiskinan.
Pendidikan tinggi dianggap jalur paling efektif mengatasi kemiskinan.
Anggota keluarga miskin yang lulus dari perguruan tinggi punya peluang besar mendapatkan pekerjaan yang layak dan kemudian mampu mengangkat kesejahteraan keluarganya.
Oleh karena itu, agenda penting kita ialah bagaimana mendorong akses siswa dari keluarga miskin untuk masuk perguruan tinggi?
Berdasarkan tingkat prestasi akademik dan tingkat ekonomi keluarga siswa tersebut, paling tidak ditemukan empat tipologi siswa lulusan SMA di Indonesia.
Tipe 1, siswa dengan prestasi akademik tinggi dan kondisi sosial ekonomi orangtuanya baik.
Tipe itu relatif lebih beruntung karena akses untuk melanjutkan studi sangat terbuka; mampu secara akademis dan mampu secara ekonomi.
Namun, jumlah siswa dengan tipe itu relatif sedikit dan sebagian besar telah mengisi bangku kuliah di perguruan tinggi ternama.
Tipe 2, siswa dengan prestasi akademik tinggi, tapi tingkat sosial ekonomi keluarga yang rendah.
Sepanjang memiliki tingkat prestasi akademik yang baik, pemerintah dan perguruan tinggi masih mengupayakan akses.
Tipe itu masih diselamatkan banyaknya skema beasiswa seperti kartu Indonesia pintar dan aneka program afirmasi baik pemerintah maupun swasta.
Tipe 3, yaitu siswa dengan tingkat prestasi akademik rendah, tapi tingkat kondisi sosial ekonomi keluarga yang tinggi.
Tipe itu relatif aman karena memiliki modal ekonomi untuk bisa tetap menjalankan niatnya menempuh pendidikan tinggi.
Sebagian dari mereka tetap melanjutkan kuliah.
Tipe 4, yaitu siswa yang memiliki prestasi akademik rendah dan sekaligus memiliki tingkat ekonomi yang rendah pula.
Tampaknya golongan itulah yang saat ini masih sangat banyak.
Minimal kita bisa melihat dari angka partisipasi kasar (APK) yang baru mencapai kurang dari 35%, tepatnya 31,19%.
APK ialah jumlah mahasiswa yang terdaftar di perguruan tinggi berbanding dengan usia kuliah pada umumnya 19-23 tahun.
Bila angka APK perguruan tinggi 35%, berarti masih ada 65% yang belum punya akses ke perguruan tinggi.
Nah, tipe 4 itu masuk kelompok 65% tersebut.
Artinya, jumlah tipe 4 itu sangat besar.
Itulah golongan yang kurang beruntung yang memerlukan afirmasi khusus.
Lalu, bagaimana strategi untuk dapat menyentuh tipe keempat tersebut?
Strategi
Memberikan solusi bagi tipe 4 tersebut ialah bagian dari jalan keluar memanfaatkan bonus demografi, mengatasi pengangguran, dan menanggulangi kemiskinan.
Dengan demikian, kita perlu merumuskan strategi yang efektif.
Strategi tersebut didasari asumsi pokok bahwa pada prinsipnya semua manusia memiliki potensi untuk dikembangkan.
Oleh karena itu, setidaknya ada empat strategi yang diperlukan.
Pertama, menumbuhkan mindset yang baik untuk siswa tipe 4.
Hasil survei McKinsey di 72 negara, ternyata faktor pendorong utama prestasi akademik siswa ialah mindset siswa itu sendiri.
Memang tentu lingkungan sekolah, baik guru, kurikulum, maupun infrastruktur juga punya andil, tapi pengaruhnya kalah oleh kekuatan mindset siswa itu.
Oleh karena itu, pekerjaan rumah terpenting kita saat ini ialah membangun kekuatan mindset siswa pendidikan dasar dan menengah, yakni kekuatan mindset yang membawa mereka optimistis bahwa mereka bisa berubah dan mewujudkan mimpi-mimpinya.
Di sinilah peran guru penggerak menjadi sangat penting.
Guru tidak lagi sebagai sumber pengetahuan semata, tetapi juga sebagai motivator, fasilitator, dan inspirator yang bisa menumbuhkan mindset baik siswa.
Kedua, mendorong perluasan pendidikan vokasi.
Keluarga siswa tipe 4 umumnya ingin anaknya cepat memasuki dunia kerja karena tuntutan ekonomi.
Dengan demikian, pendidikan vokasi baik menengah maupun tinggi harus semakin diperluas dan ditingkatkan kualitasnya.
Khusus untuk tipe 4 yang lulusan pendidikan menengah atas, diperlukan pendidikan vokasi dengan durasi waktu yang relatif singkat, satu tahun.
Karena itu, model akademi komunitas atau pendidikan vokasi setara diploma 1 atau diploma 2 menjadi paling relevan.
Diharapkan setelah 1-2 tahun mengikuti program vokasi, mereka bisa langsung memasuki dunia kerja dengan kompetensi khusus sesuai yang diperlukan industri.
Ketiga, mendorong keterlibatan dunia usaha dan dunia industri.
Pendidikan vokasi yang akan dikembangkan mesti diselaraskan dengan kebutuhan industri sejalan dengan prinsip link and match.
Mestinya dunia industri yang paling paham tentang kualifikasi dan kompetensi yang diperlukan.
Oleh karena itu, dunia industri bisa diajak bermitra untuk menyelenggarakan pendidikan vokasi tersebut dan diharapkan bisa langsung menyerap lulusannya.
Salah satu idenya ialah membangun pendidikan vokasi di kawasan industri, termasuk kawasan perkebunan.
Apa yang pernah dilakukan sebuah industri gula dan industri sawit dengan menggandeng IPB menyelenggarakan pendidikan vokasi bisa menjadi contoh.
Masyarakat lokal menikmati kehadiran industri tersebut karena mendapatkan manfaat berupa akses sebagai pekerja terampil.
Keempat, mendorong kewirausahaan di sekolah menengah.
Singapura ialah contoh negara yang sudah mulai memikirkan pendidikan kewirausahaan di sekolah menengah.
Pendidikan kewirausahaan akan menghasilkan insan-insan tangguh dan kreatif yang bisa menciptakan kesempatan.
Tentu pendidikan vokasi yang ada memiliki keterbatasan untuk menampung seluruh siswa tipe 4.
Oleh karena itu, perlu strategi lainnya dengan menambah muatan kewirausahaan pendidikan sekolah menengah agar mereka bisa menciptakan pekerjaan sendiri.
Data BPS menunjukkan lapangan pekerjaan yang mengalami peningkatan persentase terbesar pasca-pandemi Covid-19 ialah sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (agromaritim).
Karena itu, kesempatan berwirausaha di sektor itu semakin menjanjikan dan perlu desain sistematis untuk menghasilkan wirausahawan muda agromaritim tersebut.
Keempat strategi tersebut diperlukan untuk memanfaatkan berkah bonus demografi di satu sisi serta menyelesaikan masalah kemiskinan dan pengangguran di sisi lain.
Keberhasilan kita dalam arena itu akan menentukan nasib bangsa Indonesia ke depan.
Tentu harapannya agar pada peringatan hari kemerdekaan ke-100 nanti, masalah-masalah tersebut sudah selesai dan kita menjadi bangsa besar yang maju dan berpengaruh di dunia.
Merdeka! (Arif Satria,Rektor IPB dan Ketua Umum ICMI)-gun
Artikel ini telah tayang di MediaIndonesia.com pada Selasa (16/8/2022). Klik untuk baca: https://mediaindonesia.com/opini/514952/kemerdekaan-kemiskinan-dan-pendidikan.