Oleh MUHAMMAD SYAEFUL MUJAB
Baca Juga:
Penjabat Gubernur Gorontalo Minta Pemkab Tingkatkan Sektor Perdagangan Pertanian Daerah
MENGATASI kemiskinan ekstrem ke level nol persen pada tahun 2024 menjadi target ambisius pemerintah yang terus digaungkan oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Indonesia memiliki sisa waktu tiga tahun untuk memenuhi target tersebut.
Baca Juga:
Penjabat Gubernur Gorontalo Rudy Salahuddin Ingin Atasi Masalah Kemiskinan Ekstrem Segera
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik, 10,86 juta jiwa atau 4 persen penduduk Indonesia terjerembab dalam kemiskinan ekstrem.
Kemiskinan ekstrem, berdasarkan definisi Bank Dunia, merupakan kondisi di mana penghasilan di bawah purchasing power parity 1,99 dollar AS per kapita.
Ini nilainya setara dengan penghasilan di bawah 80 persen garis kemiskinan perdesaan setiap kabupaten/kota.
Berangkat dari besaran tersebut, kebijakan pengendalian kemiskinan menuju nol persen ini berfokus pada dua lokus.
Pertama, pengurangan beban pengeluaran melalui bantuan sosial dan subsidi.
Kedua, pemberdayaan untuk peningkatan produktivitas dan kapasitas ekonomi.
Target serupa berhasil dicapai oleh China dalam kurun waktu delapan tahun.
Pada awal tahun 2021, Presiden Xi Jinping mengklaim bahwa China berhasil menang total melawan kemiskinan dengan menekan level kemiskinan ekstrem ke nol persen.
Target ini dicanangkan pada akhir tahun 2012 pada level kemiskinan ekstrem China di angka 10,2 persen atau sebanyak 120 juta jiwa.
Jika dibandingkan dengan Indonesia saat ini, tingkat kemiskinan ekstrem dalam kisaran 4 persen terjadi di China pada tahun 2016.
Dengan menempatkan pada titik mula yang sama dengan Indonesia saat ini, China membutuhkan setidaknya lima tahun untuk mencapai klaim nol persen kemiskinan ekstrem.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah Indonesia dapat melampaui rekor klaim China hanya dalam durasi tiga tahun?
Target tersebut layaknya mimpi di siang bolong bagi Indonesia.
Untuk mencapai target nol persen, China pada tahun 2016 memiliki pendapatan per kapita 8147,94 dollar AS, sedangkan Indonesia pada tahun 2020 mencatatkan kurang dari setengah besaran pendapatan per kapita China tersebut atau sebesar 3869,59 dollar AS.
Pendapatan per kapita menjadi salah satu ukuran kesejahteraan bagi tiap negara.
Semakin tinggi pendapatan tersebut, semakin tinggi daya beli penduduk yang berkorelasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dengan menggunakan logika perbandingan dengan titik berangkat yang sama, waktu tiga tahun untuk target kemiskinan ekstrem nol persen jelas sulit untuk dicapai.
Peningkatan pendapatan masyarakat miskin memang bisa dilakukan dengan dukungan melalui mekanisme bantuan sosial.
Namun, sebagaimana diamini oleh para ekonom, pertumbuhan ekonomi secara agregat punya peran krusial dalam peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Resep inilah yang dilakukan oleh China untuk mengeliminasi kemiskinan ke level paling minimal.
Yuen Yuen Ang, penulis buku How China Escaped the Poverty Trap (2016), menyampaikan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan di China bertumpu pada pertumbuhan ekonomi.
Meskipun ekses negatif seperti permasalahan ketimpangan juga dialami oleh China, pertumbuhan ekonomi tersebut memiliki efek pengganda (multiplier effect) pada pendapatan nasional dan individu serta meningkatnya standar kehidupan warga.
Dalam empat dekade terakhir, lebih dari 800 juta penduduk China lepas dari jerat kemiskinan sebagai hasil dari pesatnya pembangunan nasional.
Jika membandingkan kedua negara dengan indikator pertumbuhan ekonomi pada titik mula yang sama, Indonesia perlu mengejar pertumbuhan ekonomi setidaknya di atas 6 persen.
Pada tahun 2016, ekonomi China berhasil tumbuh 6,8 persen dan sampai pada tahun-tahun berikutnya terus tumbuh di kisaran 6 persen, kecuali pada tahun 2020 di mana ekonomi China hanya tumbuh 2,3 persen karena efek pandemi Covid-19.
Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen dalam lima tahun terakhir perlu bekerja keras untuk mengejar capaian China menekan kemiskinan ekstrem nol persen dengan menggenjot produktivitas ekonominya.
Sementara target pertumbuhan ekonomi terus direvisi ke angka yang lebih realistis.
Terkini, pemerintah merevisi target pertumbuhan ekonomi tahun ini di kisaran 3,7 persen sampai 4,5 persen.
Menanggulangi persoalan kemiskinan membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Pertumbuhan yang bertumpu pada pembangunan sektor industri dan pertanian memiliki pengaruh yang kuat dalam pencapaian prestasi monumental China dalam penanganan kemiskinan.
Modal Pembangunan
Berdasarkan data distribusi produk domestik bruto (PDB) China dalam 10 tahun terakhir, sektor industri dan pertanian memberikan kontribusi rata-rata pada kisaran 50 persen dari total PDB.
Pada tahun 2020, sektor pertanian telah memberikan kontribusi 7,7 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) China, sedangkan 37,8 persen nilai tambah ekonomi masing-masing berasal dari industri dan 54,5 persen dari sektor jasa.
Peningkatan produktivitas pada sektor-sektor utama penggerak ekonomi tersebut ditopang dengan modal pembangunan yang berfungsi seperti kualitas sumber daya manusia, aksesibilitas, infrastruktur, regulasi, dan stabilitas politik.
Dibandingkan dengan Indonesia, sektor-sektor tersebut juga memberikan proporsi kontribusi yang relatif mirip dengan China. Dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 5 persen dan relatif stabil dalam satu dekade terakhir, Indonesia sebenarnya punya potensi untuk berhasil menekan kemiskinan ke level nol persen.
Namun, modal pembangunan yang dimiliki Indonesia, ditambah sisa waktu yang dimiliki, membuat target tersebut mustahil untuk dicapai.
China sadar betul bahwa pertumbuhan ekonomi yang masif selama ini menimbulkan ekses negatif seperti ketimpangan.
Dalam satu dekade terakhir, koefisien gini China menunjukkan adanya perbaikan dari 0,477 (2011) menjadi 0,385 (2021).
Secara khusus, Presiden Xi pada tahun 2013 berkomitmen untuk mengurangi ketimpangan dan kantong-kantong kemiskinan melalui sistem perpajakan, sistem jaminan sosial, dan bantuan sosial.
Pengeluaran pemerintah untuk mengurangi ketimpangan sebesar 24,6 persen dari total PDB yang termasuk di dalamnya adalah program bantuan sosial (termasuk skema standar hidup minimum perdesaan dan perkotaan) sebesar 0,8 persen; jaminan sosial 4,9 persen; program kesehatan dan pendidikan yang masing-masing sebesar 4,3 persen dan 1,5 persen.
Alokasi anggaran redistribusi pendapatan ini lebih tinggi dibandingkan Indonesia.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Keuangan, jumlah pagu anggaran yang dikhususkan untuk pemberian bantuan sosial bertambah dalam lima tahun terakhir.
Penambahan anggaran tersebut berbanding terbalik dengan penanggulangan kemiskinan yang justru mengalami perlambatan.
Selain itu, kebijakan proteksi sosial seperti pemberian bantuan sosial tidak secara langsung mengatasi kemiskinan secara agregat, namun setidaknya dapat membantu masyarakat miskin menghadapi risiko kejutan pendapatan (income shocks), apalagi di masa pandemi Covid-19 seperti saat ini.
Pada prinsipnya, pemberian bantuan sosial sebagai instrumen penanggulangan kemiskinan bukanlah suatu kesalahan.
Meskipun dituduh populis dan transaksional secara politis, bantuan sosial jika terintegrasi dengan baik dan tepat sasaran terbukti mampu untuk menangani kemiskinan dan mengurangi kesenjangan.
Pemberian bantuan sosial jika dikombinasikan dengan peningkatan produktivitas ekonomi dan paket kebijakan pro-kemiskinan dapat menghasilkan kesejahteraan secara agregat.
Kombinasi yang demikian telah dilaksanakan oleh Pemerintah China dalam beberapa dekade.
Sebagai penutup, faktor unik yang membuat China berhasil menumbuhkan ekonomi dan menekan kemiskinan secara masif adalah kesinambungan pembangunan.
Tentu hal ini terjadi karena sistem pemerintahan partai tunggal yang dijalankan oleh China sehingga kebijakan dan pembangunan yang dilakukan oleh rezim satu dan rezim lainnya memiliki benang merah yang kuat.
Berbeda dengan Indonesia yang pergantian rezim akan membuat pendekatan pembangunan dan kebijakan yang dijalankan akan berbeda.
Oleh karena itu, jika memang mimpi menekan kemiskinan ekstrem nol persen secara ajaib terwujud, penting untuk melihat tahun 2024.
Bukan hanya menantikan keberhasilan kemiskinan ekstrem nol persen, melainkan melihat kesinambungan pembangunan dan kebijakan antikemiskinan.
Siapa pun presiden berikutnya, kesinambungan ini penting untuk menjaga napas panjang perjuangan melawan kemiskinan. (Muhammad Syaeful Mujab, Analis Kebijakan Publik Mandala Research Institute)-qnt
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Mimpi Nol Persen Kemiskinan Ekstrem”. Klik untuk baca: Mimpi Nol Persen Kemiskinan Ekstrem - Kompas.id.