Oleh SAIDIMAN AHMAD
Baca Juga:
Pemohon Uji Materi UU Pemilu Desak Percepatan Pelantikan Presiden Terpilih
PEMILIHAN Presiden 2024 tidak akan diikuti oleh seorang petahana.
Medan pertarungan antarcalon presiden akan lebih cair dan lebih terbuka.
Baca Juga:
Mahfud MD: Saya Lebih Baik dari Prabowo-Gibran, tetapi Rakyat Lebih Percaya Mereka
Bagaimana peta kemungkinan koalisi partai yang akan terbentuk untuk pemilihan presiden mendatang?
Antony Downs, dalam karya klasiknya, An Economic Theory of Democracy (1957), menyatakan bahwa motivasi utama partai politik dalam bertindak dan mengeluarkan kebijakan adalah untuk sebesar-besarnya meningkatkan dukungan pemilih.
Karena itu, aksioma pertama yang perlu disadari dalam perbincangan mengenai manuver partai dalam menentukan calon pemimpin nasional adalah bahwa partai-partai politik yang akan membangun koalisi memiliki misi tertinggi untuk memenangkan calon yang diusungnya.
Hanya dengan menang, mereka akan bisa mengambil bagian dalam pemerintahan yang akan terbentuk.
Poros PDI-P
Dalam pembicaraan di kalangan elite, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) akan membentuk satu poros.
Selain sebagai pemenang pemilu dan menjadi satu-satunya partai yang bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden tanpa koalisi, partai ini juga memiliki sejumlah kader populer yang sangat berpotensi maju sebagai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Berdasarkan gerakan dan sinyal elite, poros PDI-P, atau Teuku Umar, sejauh ini memiliki tiga skenario calon presiden.
Skenario pertama, Puan Maharani maju sebagai capres.
Jika skenario ini berjalan, PDI-P akan membutuhkan dukungan calon atau partai lain untuk menutupi aspek popularitas Puan yang sampai hari ini belum maksimal.
Data survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), dalam simulasi 15 nama, suara Puan masih di kisaran 1,4 persen.
Calon koalisi potensial saat ini adalah Partai Gerindra.
Kedekatan PDI-P dan Gerindra sudah terbangun cukup lama walaupun dalam dua pemilihan presiden (pilpres) terakhir mereka berhadap-hadapan.
Persoalannya adalah apakah Gerindra akan mau menurunkan ekspektasinya untuk mengusung calon presiden dan bukan wakil presiden?
Rasanya potensi untuk munculnya pasangan Puan-Prabowo Subianto (di mana Puan menjadi capres dan Prabowo cawapres) relatif akan susah diwujudkan.
Maka, skenario kedua adalah koalisi PDI-P dan Gerindra terjadi, tetapi yang dimajukan sebagai capres adalah Prabowo, sementara kader PDI-P, seperti Puan, menjadi cawapres.
Persoalan utama kombinasi ini adalah kesediaan PDI-P merelakan diri menjadi pengusung cawapres.
Sebagai pemenang pemilu, tentu daya tawar PDI-P lebih besar untuk memajukan capres.
Jika PDI-P menerima tawaran menjadi cawapres dari partai lain, ini akan secara langsung bertentangan dengan arus besar aspirasi elite partai dan massa partai di akar rumput.
Dengan demikian, skenario kedua ini juga cukup sulit diwujudkan.
Skenario ketiga adalah PDI-P mengusung calon dengan dukungan massa terbesar saat ini, yakni Ganjar Pranowo.
Dalam pelbagai simulasi survei yang dilakukan SMRC, di antara para kader PDI-P yang menonjol, Ganjar secara konsisten berada di urutan pertama tingkat elektabilitas.
Dalam survei pertengahan September 2021, suara Ganjar konsisten ada di tiga besar tokoh yang mendapatkan preferensi publik untuk maju sebagai capres.
Dalam survei ini, suara Ganjar 15,8 persen untuk semiterbuka 42 nama, 19 persen untuk simulasi 15 nama, 20,5 persen untuk simulasi delapan nama, dan 29,3 persen untuk tiga nama.
Elektabilitas ini juga secara konsisten mengalami kenaikan.
Betul bahwa saat ini, elektabilitas Prabowo masih relatif lebih tinggi, tapi tren setahun terakhir menunjukkan preferensi publik pada Prabowo cenderung menurun, sementara Ganjar terus meningkat.
Saat ini, tingkat pengetahuan publik pada dua tokoh ini belum seimbang.
Prabowo sudah dikenal 98 persen publik, sementara Ganjar baru 67 persen.
Sementara di pemilihan nanti, pengetahuan publik pada dua kandidat akan relatif sama setelah adanya kampanye dan sosialisasi.
Karena itu, untuk mengetahui potensi tiap-tiap tokoh, hal itu bisa diuji dengan menganalisis pilihan warga yang sama-sama tahu tokoh yang akan berkompetisi.
Survei SMRC menunjukkan bahwa jika warga sama-sama tahu tokoh, dalam hal ini Ganjar, Prabowo, dan beberapa tokoh lain, suara Ganjar menjadi lebih unggul dari calon mana pun, termasuk Prabowo.
Data ini mengonfirmasi temuan kedisukaan (likeability) publik yang mengenal Ganjar memang jauh lebih tinggi dari Prabowo.
Dari keseluruhan warga yang mengenal Ganjar, 85 persen menyatakan suka kepadanya.
Bandingkan dengan Prabowo, dari 98 persen yang mengenalnya, hanya 76 persen yang menyatakan suka.
Artinya, resistensi pada Prabowo lebih besar dari resistensi publik pada Ganjar.
Dengan aksioma partai ingin memenangkan calon yang diusungnya, maka skenario ketiga, memajukan Ganjar sebagai capres, masih menjadi opsi paling rasional bagi PDI-P sekarang ini.
Jika PDI-P mengusung Ganjar, kemungkinan rencana koalisi PDI-P dan Gerindra tidak akan terwujud karena Gerindra cenderung akan bertahan memajukan Prabowo sebagai capres.
Betul PDI-P bisa maju sendiri, tetapi ini opsi yang tidak terlalu meyakinkan.
Kemungkinan partai ini akan mencari mitra koaliasi untuk memperkuat posisi yang ada saat ini.
Dalam empat kali pemilihan langsung presiden, PDI-P tiga kali mengambil wakil dari organisasi massa Nahdlatul Ulama (NU) sebagai cawapres: Hasyim Muzadi (2004), Jusuf Kalla (2014), dan Ma’ruf Amin (2019).
Dengan kecenderungan ini, sangat terbuka kemungkinan PDI-P akan kembali mempertimbangkan untuk menjaga kedekatan dengan massa NU.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) berpeluang ada dalam koalisi ini dengan mengajukan cawapres dari kalangan Nahdliyin, baik yang ada dalam struktur partai berbasis NU maupun dari tokoh NU kultural, seperti Said Aqil Siroj.
Poros Prabowo
Poros kedua yang berpotensi muncul, tentu saja, adalah Hambalang.
Di sini Prabowo sebagai magnet utamanya.
Prabowo memiliki dua kekuatan utama: elektabilitas yang sudah tinggi dan sebagai pemimpin atas Gerindra yang merupakan kendaraan politik yang besar dan stabil.
Poros ini bisa menarik kembali partai-partai mitra lama di dua pemilihan presiden terakhir, antara lain Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Poros oposisi yang diisi Partai Demokrat dan PKS juga berpotensi terbentuk.
PAN yang memiliki kedekatan khusus dengan Demokrat juga bisa bergabung ke poros ini.
Koalisi Demokrat, PKS, dan PAN sudah memenuhi syarat ambang batas untuk mengajukan capres.
Ada empat kandidat potensial yang bisa muncul di sini: Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Salim Segaf Al-Jufri, Zulkifli Hasan, dan Anies Baswedan.
Dari empat nama ini, Anies tokoh terpopuler.
Tantangan bagi poros oposisi ini cukup besar, salah satunya adalah menyatukan tiga partai.
Ketiga partai ini relatif tak punya tokoh yang cukup menonjol.
Di antara ketua-ketua partai, AHY berada di urutan pertama berdasarkan elektabilitas hari ini.
Namun, suara untuk AHY masih relatif rendah, yakni 4,5 persen untuk simulasi 15 nama dalam survei SMRC terakhir.
Hal yang sama terjadi pada tokoh-tokoh PKS dan PAN.
Belum muncul nama yang benar-benar kompetitif.
Karena itu, alternatif bagi poros oposisi ada dua, yakni mengajukan Anies sebagai capres.
Jika Anies dipersepsi sebagai representasi PKS, cawapres akan muncul dari Demokrat atau PAN.
Alternatif kedua bagi poros oposisi adalah kembali ke koalisi besar di bawah payung Prabowo.
Dibandingkan alternatif pertama, alternatif kedua ini lebih memungkinkan.
Pertanyaannya, siapa yang akan menjadi calon wakil presiden untuk Prabowo?
Poros Kuning
Poros terakhir yang berpotensi muncul adalah Golkar-Nasdem.
Golkar dan Nasdem memiliki kedekatan emosional terutama karena pendiri Nasdem, Surya Paloh, adalah salah satu kader Golkar yang bahkan pernah menduduki jabatan tertinggi di partai beringin, Ketua Dewan Penasihat.
Baik Golkar maupun Nasdem menunjukkan performa politik yang cemerlang.
Sebagai partai yang relatif baru, Nasdem muncul dengan sangat meyakinkan.
Di sejumlah daerah, terutama di Indonesia timur, Nasdem muncul sebagai kekuatan politik utama.
Sementara Golkar berhasil mempertahankan eksistensinya sebagai salah satu partai terbesar sejak 1999 sampai hari ini.
Golkar memiliki sejarah hampir selalu mengusung kader sendiri dalam pilpres, baik sebagai capres maupun cawapres.
Dalam empat kali pilpres langsung, hanya pada Pilpres 2019, Golkar tidak mengikutkan kadernya dalam perhelatan.
Magnet koalisi ini bisa datang dari Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto.
Kendati belum cukup populer di tingkat massa, di kalangan elite Menteri Koordinator Perekonomian ini relatif bisa diterima semua kalangan.
Di kalangan internal Golkar sendiri, dia muncul sebagai tokoh yang berhasil menyatukan pelbagai faksi di tubuh partai yang sebelumnya didera banyak ancaman perpecahan.
Posisinya sebagai Menko Perekonomian dan Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional menjadikannya jenderal lapangan pemulihan krisis ekonomi dan kesehatan.
Ini jelas jadi daya tarik politik untuk membentuk koalisi.
Airlangga memiliki dua karisma sekaligus, sebagai pemimpin partai besar dan teknokrat dengan prestasi kerja yang tinggi, terutama dalam pemulihan ekonomi nasional dan kesehatan publik di tengah pandemi.
Koalisi ini juga bisa mempertimbangkan tokoh lain yang populer, seperti Ridwan Kamil dan Anies Baswedan, sebagai calon.
Ridwan dikabarkan sedang membuka kemungkinan untuk bergabung ke parpol.
Jika Ridwan bergabung ke Nasdem, misalnya, kombinasi Airlangga dan Ridwan cukup berpotensi untuk muncul, tinggal diputuskan siapa di antara keduanya yang menjadi nomor 1 dan 2.
Salah satu partai besar yang juga bisa bergabung ke koalisi ini adalah Partai Demokrat.
Hal itu bisa terjadi jika Demokrat gagal menjalin komunikasi dengan poros oposisi atau poros Prabowo.
Selain sama-sama partai dengan ideologi kebangsaan, Demokrat juga memiliki kedekatan historis dengan Golkar.
Selain aksioma memenangkan calon yang akan diusung, partai-partai politik juga perlu mempertimbangkan efek perolehan partai dalam pemilu legislatif atas pilihan capres yang akan diusung.
Dalam survei eksperimental yang dilakukan SMRC (2021), ditemukan bahwa keputusan partai mengusung seorang capres akan memiliki pengaruh signifikan pada hasil pemilihan anggota legislatif mereka.
Karena itu, setiap partai perlu hati-hati menentukan capres yang akan mereka usung.
Selain mempertimbangkan potensi menang dari capres yang dipilih, preferensi massa partai juga harus ditempatkan dalam prioritas utama pengambilan keputusan partai. (Saidiman Ahmad, Manajer Program Saiful Mujani Research and Consulting - SMRC; Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik Universitas Indonesia)-qnt
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Poros Pemilihan Presiden 2024”. Klik untuk baca: Poros Pemilihan Presiden 2024 - Kompas.id.