WAHANANEWS.CO, Jakarta - Paradigma lama tentang kekekalan alam semesta kini kembali diguncang oleh hasil studi fisika terbaru.
Selama ini, para ilmuwan memperkirakan bahwa alam semesta akan berakhir dalam rentang waktu yang luar biasa panjang, sekitar 10¹¹⁰⁰ tahun, atau 10 pangkat 1100 tahun.
Baca Juga:
Peramal India yang Prediksi Kiamat 29 Juni 2024, Inilah Sosok Kushal Kumar
Angka ini nyaris tak terbayangkan karena melebihi waktu eksistensi banyak generasi bintang dan galaksi.
Namun, penelitian mutakhir yang memasukkan sifat unik partikel lubang hitam menunjukkan bahwa "akhir" alam semesta bisa tiba jauh lebih cepat dalam skala waktu kosmik.
Sebuah riset yang akan diterbitkan di Journal of Cosmology and Astroparticle Physics mengungkapkan bahwa sisa-sisa bintang terakhir yang perlahan-lahan meluruh hanya akan bertahan sekitar 10⁷⁸ tahun.
Baca Juga:
Isra Mi'raj dari Sudut Pandang Fisika, Ini Kata Ahli
Walaupun angka ini juga sangat besar, perbedaan dengan prediksi lama jelas sangat signifikan.
Untuk memberi gambaran, 10⁷⁸ tahun jauh lebih singkat dibanding 10¹¹⁰⁰ tahun, sehingga masa depan alam semesta lebih “ringkas” dari yang selama ini dibayangkan.
Mengutip Popular Science (15 Mei 2025), pergeseran dramatis ini berakar pada pemikiran Stephen Hawking.
Pada 1975, Hawking mengemukakan teori bahwa beberapa partikel sebenarnya dapat meloloskan diri dari tarikan gravitasi lubang hitam, sebuah fenomena yang bertentangan dengan teori relativitas Einstein yang menyatakan lubang hitam hanya bisa bertambah besar dan tak mungkin menghilang.
Melalui perhitungan Hawking, diketahui bahwa di tepi lubang hitam terjadi fenomena aneh: sepasang partikel terbentuk dalam kekacauan energi.
Sebelum bergabung, satu partikel masuk ke lubang hitam sementara pasangannya terlempar keluar, menghasilkan radiasi yang kini dikenal sebagai radiasi Hawking.
Fenomena ini menunjukkan lubang hitam tidak permanen dan sebenarnya bisa meluruh secara perlahan.
Peneliti dari Universitas Radboud, Belanda, dalam studi mereka tahun 2023, mengeksplorasi lebih dalam mengenai penguapan lubang hitam dan bagaimana hal ini memengaruhi objek langit lain seperti bintang katai putih dan bintang neutron.
Tim ini menerima banyak pertanyaan dari berbagai penjuru dunia mengenai dampak radiasi Hawking pada evolusi alam semesta.
Salah satu temuan penting adalah dampak radiasi Hawking pada bintang katai putih, yang dikenal sebagai objek paling awet di jagat raya.
Studi sebelumnya tanpa memasukkan radiasi Hawking memperkirakan umur bintang katai putih bisa mencapai 10¹¹⁰⁰ tahun, setara dengan estimasi lama masa hidup alam semesta.
Namun, perhitungan baru yang mempertimbangkan radiasi Hawking memperkirakan masa hidup bintang katai putih hanya sekitar 10⁷⁸ tahun, jauh lebih pendek.
Heino Falcke, penulis utama studi, menyatakan, “Walaupun perkiraan ini jauh lebih pendek dibanding sebelumnya, 10⁷⁸ tahun tetaplah rentang waktu yang luar biasa lama, jauh melampaui skala hidup manusia atau peradaban apa pun.”
Radiasi Hawking juga memengaruhi benda langit lain seperti bintang neutron dan lubang hitam itu sendiri. Menurut penelitian, keduanya akan meluruh dalam rentang waktu sekitar 10⁶⁷ tahun.
Meski lubang hitam memiliki medan gravitasi yang sangat kuat, mereka justru menyerap kembali sebagian radiasi yang mereka pancarkan sehingga memperlambat proses peluruhannya.
Michael Wondrak, rekan penulis studi, menjelaskan, “Lubang hitam tidak memiliki permukaan seperti bintang, dan ini memungkinkan mereka memantulkan kembali radiasi Hawking, memperlambat penguapan mereka.”
Yang tak kalah menarik, tim peneliti juga menghitung berapa lama manusia akan “menghilang” akibat peluruhan radiasi Hawking.
Karena manusia memiliki massa dan tarikan gravitasi yang sangat kecil, maka tanpa faktor eksternal seperti kematian biologis atau perubahan kosmik besar, manusia secara teori baru akan kehilangan seluruh partikel penyusunnya sekitar 10⁹⁰ tahun ke depan.
“Dalam hal ini, manusia secara mengejutkan ‘mengalahkan’ alam semesta,” ujar Falcke dengan nada bercanda.
Artinya, meskipun alam semesta akan berakhir, kita sebagai makhluk hidup dengan massa kecil sebenarnya akan bertahan jauh lebih lama dari objek langit paling tahan lama sekalipun.
Studi ini mengubah cara pandang kita terhadap waktu dan kekekalan alam semesta.
Menyadari bahwa segala sesuatu, bahkan jagat raya, memiliki batas waktu keberadaan, membawa pemahaman baru tentang skala kosmos dan posisi kita di dalamnya.
Meski akhir alam semesta masih sangat jauh, penemuan ini menegaskan bahwa kekekalan bukanlah sifat mutlak, melainkan sebuah proses yang terus bergerak menuju perubahan dan kematian.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]