WahanaNews.co, Jakarta - Baru-baru ini, sejumlah negara Asia seperti Thailand, Kamboja, dan India mengalami gelombang panas.
Namun, Indonesia luput dari fenomena tersebut. Menurut Profesor Riset bidang Meteorologi dari BRIN, Eddy Hermawan, Indonesia terhindar dari gelombang panas karena adanya awan yang melindungi wilayahnya.
Baca Juga:
Inilah 6 Kota Paling Tandus di Dunia, Salah Satunya Tak Hujan hingga 5 Abad
Gelombang panas merupakan kondisi di mana suhu rata-rata melebihi ambang normal selama lebih dari 30-40 tahun.
Jika suhu pada suatu kawasan biasanya berkisar 27-28 derajat Celsius, tetapi kemudian melonjak menjadi 33-34 derajat Celcius secara permanen selama 4-5 hari, maka itu didefinisikan sebagai gelombang panas.
Masyarakat perlu memperhatikan durasi dan amplitudo suhu tinggi, serta kondisinya.
Baca Juga:
Cuaca Ekstrem Ancam Sejumlah Wilayah hingga Tahun Baru
Jika hanya sesaat dan tidak melebihi deviasi besar, belum bisa disebut gelombang panas.
Eddy menjelaskan bahwa Bumi semakin panas karena sinar matahari tidak terhalang oleh awan di beberapa kawasan. Namun, Indonesia memiliki awan yang menghalangi sinar matahari, sehingga terhindar dari gelombang panas.
Dirinya berpendapat bahwa Indonesia hampir setiap hari ada awan, karena Negara Indonesia merupakan kawasan yang unik dikelilingi oleh lautan dan terdapat ribuan pulau yang sangat banyak sehingga hal tersebut menghasilkan awan.
“Mengapa ada awan, karena memang kawasan kita, kan, unik ya, dua pertiganya laut dan sepertiganya daratan, dengan lima pulau besar dan 17.548 pulau di mana masing-masing pulau menghasilkan konveksi lokal dan konveksi regional sehingga menghasilkan awan. Alhasil kawasan kita Indonesia ini relatif aman dari bahaya gelombang panas,” ujarnya.
Kawasan atau negara yang terkena dampak gelombang panas umumnya adalah wilayah yang didominasi daratan, seperti India, Thailand, Afrika, dan Brazil.
Menurut Eddy Hermawan, belum dapat dipastikan kapan puncak gelombang panas ini akan berakhir.
Namun, berdasarkan analisis data Indian Ocean Dipole (IOD) di Lautan Hindia, kondisi panas di kawasan barat Indonesia, khususnya Pantura Jawa, sudah mulai terjadi sejak April 2024 dan akan mencapai puncaknya sekitar Juli 2024.
Kondisi panas ini diperparah oleh angin timuran yang bergerak melintasi Indonesia seiring pergerakan matahari ke belahan bumi utara sejak 21 Maret.
Eddy mengindikasikan kondisi panas akan terus berlanjut karena uap air di kawasan barat Indonesia tertarik ke timur Afrika dan angin gurun dari utara Australia mulai memasuki Indonesia.
“Gerbang utama yang akan menerima kondisi ini adalah kawasan NTT, diikuti NTB, Bali, Jawa Timur, dan seterusnya,” kata Eddy.
Eddy juga menyampaikan, pihaknya mengamati bahwa di siang hari memang terik sekali. Tapi pada malam dan dini hari, ada indikasi kuat dihasilkannya hujan. Jadi semakin terik suhunya, umumnya akan diikuti hujan di malam harinya, walaupun sifat hujannya tidak sebesar pada umumnya saat musim penghujan. Ini adalah indikasi yang biasa terjadi akhir musim transisi pertama (MAM).
Eddy menyarankan masyarakat yang tengah mengalami cuaca atau hawa panas agar:
Pertama, memberikan asupan air yang cukup bagi tubuh.
Kedua, hindari minum air dingin karena perubahan suhu yang drastis akan mengganggu kesehatan.
Ketiga, untuk daerah atau sentra pangan debit air mungkin akan berkurang, tetapi tidak akan permanen.
Keempat, usahakan jangan berhadapan langsung dengan matahari, artinya jangan menatap matahari siang hari bolong, karena sinar UV sangat kuat sekali.
“Tidak perlu panik, tetap melindungi diri dari cahaya matahari yang menyengat,” kata Eddy.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]