WahanaNews.co | Tak sedikit orang meyakini bahwa banyak mikir bisa membuat rambut cepat putih dan beruban. Namun, benarkah demikian?
Beberapa studi sebetulnya telah membuktikan bahwa stres memang bisa membuat rambut beruban dan putih.
Baca Juga:
5 Kebiasaan yang Picu Kebotakan Pria di Usia Muda
Salah satunya adalah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Nature oleh para peneliti Harvard pada tahun 2020 yang mencari tahu bagaimana stres bisa menyebabkan hilangnya pigmen rambut secara permanen.
Untuk diketahui, rambut menjadi berwarna karena adanya pigmen bernama melanin. Tanpa pigmen ini, rambut akan kehilangan warna atau memutih.
Tim peneliti mendapatkan jawabannya ketika melakukan penelitian terhadap tikus yang diketahui juga bisa beruban ketika mengalami stres tinggi.
Baca Juga:
Penyebab Muncul Uban di Usia Muda
Dilansir dari Wbur; peneliti sel punca Harvard Ya Chieh Hsu berkata bahwa pada awalnya tim mengira bahwa hal ini disebabkan oleh sistem imun. Ketika tubuh mengalami stres, sistem imun diduga akan menyerang sel punca yang memproduksi sel pigmen rambut.
Namun, ketika tim peneliti menguji tikus yang sistem imunnya cacat, tikus tetap beruban ketika mengalami stres. Artinya, hipotesis sistem imun salah.
Tim lantas menguji hipotesis berikutnya, yakni hormon stres kortisol secara langsung membunuh sel punca pigmen. Akan tetapi, ketika tim sudah membuang kelenjar yang memproduksi kortisol pun, tikus tetap beruban ketika stres.
Gangguan stres akut adalah kondisi kesehatan mental yang dapat terjadi segera setelah peristiwa traumatis. Freepik/sewscream Gangguan stres akut adalah kondisi kesehatan mental yang dapat terjadi segera setelah peristiwa traumatis.
Akhirnya, tim peneliti pun mengarahkan penelitian mereka ke sistem saraf simpatetik yang bekerja dalam respons otomatis "melawan-atau-lari" ketika dihadapkan dengan bahaya.
Hasilnya sangat jelas, ternyata respons "melawan-atau-lari" yang paling singkat pun bisa menyebabkan perubahan permanen pada sel punca.
Ketika tikus mengalami stres, sistem saraf simpatetik ini bereaksi berlebihan dan mempercepat pengurangan sel-sel punca yang membuat sel pigmen. Tanpa adanya sel pigmen, rambut tikus pun memutih.
Menurut Hsu, apabila sel punca yang meregenerasi pigmen menghilang maka kerusakan warna rambut menjadi permanen dan tidak bisa dikembalikan.
Oleh karena itu, tim peneliti lebih menyarankan untuk memperlambat terjadinya uban dengan memblokir protein cyclin dependent kinase (CDK) yang menyebabkan kerusakan pada sel punca.
Namun, studi lain yang dipublikasikan dalam jurnal eLife pada 22 Juni 2021 menemukan hal sebaliknya.
Tim peneliti yang dipimpin oleh Martin Picard, PhD dari Columbia University Vagelos College of Physicians and Surgeons menemukan bahwa warna rambut bisa kembali seperti semula ketika stres sudah menghilang.
Para peneliti menemukan hal ini setelah membelah helaian rambut dari 14 partisipan menjadi lembaran-lembaran yang lebarnya hanya 1/20 milimeter.
Tujuannya adalah untuk menangkan gambar rambut yang mendetail dan menguantifikasi kerusakan pigmen pada setiap lembar potongan rambut.
Menurut tim peneliti, rambut menyimpan sejarah biologis layaknya lingkaran pada batang pohon. Ketika rambut masih berada di bawah kulit sebagai folikel, rambut rentan terpengaruh oleh hormon stres yang ketika tumbuh keluar dari kulit kepala, lantas mengeras dan mengkritalisasi menjadi bentuk yang lebih stabil.
Para peneliti lantas menganalisis lembaran-lembaran rambut dari 14 partisipan dan membandingkannya dengan buku harian stres yang diisi oleh para partisipan setiap minggunya.
Ternyata hasilnya mengejutkan. Beberapa rambut yang memutih mendapatkan kembali warna aslinya secara alami ketika stres berkurang.
Seorang partisipan bahkan ditemukan mendapatkan warna dari lima helai rambutnya kembali kembali karena pergi berlibur.
Untuk menjelaskan mekanisme fenomena ini, tim peneliti lantas mengembangkan model matematis yang mengungkapkan bahwa perubahan pada mitokondria yang disebabkan oleh stres bisa membuat rambut beruban.
Terkait perbedaan temuannya dengan temuan tim peneliti Harvard, salah satu peneliti studi yakni Ralf Raus, PhD dari University of Miami Miller School of Medicine berkata bahwa hal ini mungkin disebabkan karena subjek penelitian mereka.
Raus berkata bahwa tikus memiliki biologi folikel rambut yang sangat berbeda, sehingga temuan pada tikus mungkin tidak bisa diterapkan dengan baik pada manusia. [rna]