WahanaNews.co | Ternyata pada 29 Juni dan 26 Juli 2022 lalu, Bumi berputar lebih cepat dari biasanya. Hal itu merupakan hasil laporan para ilmuwan.
Melansir Kompas.com, ilmuwan menggunakan jam atom untuk mengukur kecepatan rotasi Bumi ini.
Baca Juga:
Pisah Sambut Kajari Samosir: Estafet Kepemimpinan di Bumi Ulos
Dilansir dari Time and Date, Rabu (27/7/2022), Bumi mampu menyelesaikan satu putaran dalam 1,59 milidetik lebih cepat atau kurang dari 24 jam pada 29 Juni 2022.
Menurut ilmuwan, fenomena ini menjadi hal baru dalam serangkaian rekor kecepatan Bumi sejak 1960 dan 2020.
Lantas, apa penyebabnya?
Baca Juga:
Pesawat Antariksa China dalam Perjalanan Pulang ke Bumi, Bawa Sampel Sisi Jauh Bulan
Seperti diketahui, Bumi berputar atau berotasi sekali setiap 24 jam yang mengakibatkan adanya siang dan malam. Namun dalam jangka waktu yang lama, putaran Bumi melambat.
Setiap 100 tahun, Bumi membutuhkan beberapa milidetik atau lebih untuk menyelesaikan satu putaran, di mana 1 milidetik sama dengan 0,001 detik. Dalam pola ini, kecepatan putaran Bumi berfluktuasi.
Dari satu hari ke hari berikutnya, waktu yang dibutuhkan Bumi untuk menyelesaikan satu putaran naik atau turun sepersekian milidetik.
Para ilmuwan yang mempelajari rotasi Bumi menggunakan istilah 'panjang hari' untuk berbicara tentang seberapa lambat atau cepat Bumi berputar.
Panjang hari adalah perbedaan antara waktu yang dibutuhkan Bumi untuk berputar sekali pada porosnya, dan 86.400 detik (24 jam). Ketika panjang hari meningkat, Bumi berputar lebih lambat. Ketika berkurang dan menjadi angka negatif, Bumi berputar lebih cepat.
Bumi Berputar Semakin Cepat
Dalam beberapa tahun terakhir, Bumi berputar semakin cepat. Pada 2020, para ilmuwan mencatat 28 hari terpendek sejak 1960. Tercatat saat itu, adalah -1,47 milidetik pada 19 Juli 2020.
Namun pada tahun lalu, tren itu tidak berlanjut dengan hari terpendek pada tahun 2021 menjadi lebih lama dari tahun sebelumnya.
Rekor sebelumnya untuk rotasi terpendek adalah 19 Juli 2020, ketika rotasi Bumi membutuhkan 1,4602 milidetik kurang dari 24 jam. Kemudian, Bumi terus berputar cepat pada 2021, meskipun hari terpendek dalam setahun pada 2021 sedikit lebih lama dari pada 2020. Kini pada 2022, Bumi berotasi lebih cepat lagi.
Pada 29 Juni 2022, Bumi membuat rekor baru untuk hari terpendek di era jam atom, yakni -1,59 milidetik .
Bumi hampir mengalahkan rekornya lagi pada bulan berikutnya, mencatat panjang hari -1,50 milidetik pada 26 Juli 2022.
Penyebab Bumi berotasi lebih cepat
Dilansir dari Forbes, Kamis (28/7/2022), para ilmuwan tidak yakin mengenai apa penyebab atau faktor yang membuat Bumi berotasi lebih cepat di 2022.
Mereka menduga bahwa hal tersebut dikaitkan dengan:
- Mencairnya gletser berarti lebih sedikit beban di kutub
- Gerakan inti cair bagian dalam planet
- Aktivitas seismik The “Chandler wobble" atau pergerakan kutub geografis Bumi melintasi permukaannya.
Chandler wobble adalah nama yang diberikan untuk pergerakan kutub geografis Bumi yang kecil dan tidak beraturan di seluruh permukaan dunia. Meski begitu, para ilmuwan masih berjuang untuk membuat prediksi tentang panjang hari lebih dari setahun ke depan.
Pada pertemuan tahunan Asia Oceania Geosciences Society, peneliti senior di Institut Astronomi Sternberg, Universitas Negeri Lomonosov Moskow Leonid Zotov menyarankan penurunan panjang hari saat ini mungkin ada kaitannya dengan 'goyangan Chandler'.
Pertemuan itu juga dihadiri oleh rekan-rekannya Christian Bizouard dan Nikolay Sidorenkov.
Dampak jika Bumi Berotasi Lebih Cepat
Jika rotasi cepat Bumi berlanjut, hal itu bisa mengarah pada detik kabisat negatif pertama yang pernah ada .
Ini akan diperlukan untuk menjaga waktu di dunia yang didasarkan pada ketukan jam atom yang sangat stabil, sejalan dengan waktu Matahari, didasarkan pada pergerakan Matahari melintasi langit.
Detik kabisat negatif berarti jam melewati satu detik yang berpotensi menimbulkan masalah bagi sistem teknologi. Hal yang dipikirkan selanjutnya adalah jika Bumi berotasi lebih cepat, apakah panjang hari akan terus berkurang atau sudah mencapai minimum. Namun hingga kini, tidak ada yang tahu pasti.
"Saya pikir ada kemungkinan 70 persen kita berada di level minimum," ujar Dr. Zotov. [qnt]