WahanaNews.co | Di tengah keterbatasan ekonomi, semangat guru Sri Hartuti tetap menggebu demi mencerdaskan anak-anak didiknya di Sekolah Dasar (SD) Negeri 2 Pandean, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
Sebagai guru tidak tetap, Sri Hartuti menerima Rp 350.000 per bulan.
Baca Juga:
Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri Geledah Rumah Terduga Terorisme di Ngawi
Sedangkan sang suami bekerja serabutan di kebun.
Kondisi itu membuat Sri Hartuti bersama suami dan ketiga anaknya hanya bisa menetap di rumah tidak layak huni.
Bahkan keluarga tersebut tinggal satu atap bersama kambing-kambingnya.
Baca Juga:
Tubuh Dipenuhi Pecahan Kaca, Korban Tabrakan Maut Ngawi: Atap Bus Terlepas
Mereka menumpang hidup di atas tanah Perhutani Ngawi.
“Gentingnya banyak yang bocor, ini dipasang seng hanya di kamar tidur biar tidak kehujanan kalau tidur,” kata Sri Hartuti, saat ditemui wartawan di rumahnya, Kamis (21/10/2021).
Anak Diejek Tidur dengan Kambing
Selain mengajar sebagai guru tak tetap, Sri Hartuti juga memelihara kambing untuk membantu perekonomian keluarga.
Kambing-kambing tersebut terkadang dijual untuk membeli beras.
Karena hanya memiliki rumah yang sederhana, kambing-kambingnya ditempatkan berdampingan dengan rumah utama.
“Anak saya yang nomor dua, yang kelas 1, sering diejek temannya tidur dengan kambing,” imbuh dia.
Besarkan Hati Sang Anak
Sri Hartuti mengaku hanya bisa menghibur ketiga anaknya jika mereka diolok-olok.
Saat anaknya mendapatkan ejekan tidur dengan kambing, Sri akan mengatakan pada buah hatinya bahwa saat ini Tuhan sedang menguji keluarga mereka.
Dia berharap, kelak tiga anaknya akan mengingat sulitnya hidup mereka saat ini.
“Biar mereka ingat bagaimana rasanya menjadi orang tidak punya sehingga tidak sombong kalau sudah sukses,” katanya.
Entaskan Buta Huruf di Desanya
Sri Hartuti telah menjadi guru tidak tetap sejak 2007.
Dia mengaku menjadi pengajar di desanya karena prihatin banyak siswa yang tidak bisa membaca meski telah berada di kelas 4 SD.
Kebanyakan orangtua para siswa tinggal di kampung yang terpencil di tengah hutan jati.
Kondisi orangtua siswa juga buta huruf sehingga tidak bisa mengajari anaknya membaca.
”Jadi dulu sepulang sekolah saya beri pelajaran tambahan biar anak-anak bisa membaca,” jelasnya.
Belasan tahun menjadi guru, kondisi perekonomian Sri Hartuti tak berubah.
Namun Sri Hartuti tetap bangga lantaran sejumlah anak didiknya saat ini telah sukses.
Beberapa di antaranya bahkan menjadi pengusaha di Jakarta hingga anggota polisi.
Meski desa tempat tinggal mereka terpencil di tengah hutan jati, Sri Hartuti berharap anak-anak di desanya bisa menjadi generasi berprestasi.
“Sekolah itu penting untuk menggapai sukses,” pungkasnya. [qnt]