WAHANANEWS.COM Jakarta - Saat Amerika Serikat gencar mengusir imigran dan pelajar asing, terutama dari China, banyak pihak mengingat kembali nama yang nyaris terlupakan: Qian Xuesen.
Ia bukan sekadar ilmuwan jenius, ia adalah sosok yang mengubah jalannya sejarah teknologi militer dan luar angkasa China. Ironisnya, semua itu terjadi setelah Amerika sendiri menendangnya keluar.
Baca Juga:
Elon Musk Serukan Pemakzulan Trump! Drama Politik AS Makin Panas
Di Shanghai, berdiri sebuah museum dengan 70.000 artefak untuk menghormatinya, "ilmuwan rakyat" Qian Xuesen.
Ia dikenal sebagai bapak program luar angkasa dan rudal China. Berkat risetnya, Beijing mampu meluncurkan satelit pertama ke luar angkasa dan membangun kekuatan persenjataan nuklir.
Atas jasanya, ia digelari pahlawan nasional di China. Tapi di AS, tempat ia belajar dan bekerja selama lebih dari satu dekade, namanya nyaris tenggelam.
Baca Juga:
Jet Siluman Super AI Muncul dari China dan AS: Siapa Penguasa Langit Selanjutnya?
Kisah Qian kembali disorot media seperti The New York Times, terutama ketika pemerintahan Donald Trump gencar mencabut visa pelajar China yang dianggap memiliki kaitan dengan Partai Komunis atau belajar di bidang "sensitif".
Namun sejarah mencatat, kebijakan serupa pernah membawa petaka bagi AS.
Qian lahir pada 1911, di masa transisi dari kekaisaran ke republik di China. Ayahnya mendirikan sistem pendidikan nasional setelah belajar di Jepang.
Sejak muda, Qian sudah menonjol. Ia lulus terbaik dari Universitas Jiao Tong dan meraih beasiswa ke MIT.
Tiba di Boston tahun 1935, Qian mungkin menghadapi rasisme, kata Prof. Chris Jespersen dari University of North Georgia. Namun saat itu juga ada harapan bahwa China tengah mengalami transformasi besar.
Dari MIT, ia lanjut ke Caltech, belajar di bawah insinyur legendaris Theodore von Karman.
Ia bekerja dengan Frank Malina dan masuk kelompok "Suicide Squad", julukan bagi tim eksentrik yang bereksperimen membangun roket dengan bahan kimia berbahaya.
Qian cepat menunjukkan kepiawaiannya. Ia turut serta dalam riset propulsi roket, bidang yang kala itu dianggap gila oleh para insinyur serius. Namun semuanya berubah saat Perang Dunia II meletus.
Militer AS membiayai proyek mereka. Jet Propulsion Laboratory (JPL) pun lahir pada 1943, dan Qian berada di jantungnya.
Sebagai warga negara dari negara sekutu, Qian diberi izin keamanan untuk menangani proyek senjata rahasia dan menjabat di Dewan Penasihat Sains AS.
Bahkan ia dikirim ke Jerman untuk mewawancarai ilmuwan Nazi, termasuk Wernher von Braun, untuk menguak rahasia teknologi roket Jerman.
Namun semuanya runtuh dalam waktu singkat.
Setelah berdirinya Republik Rakyat China tahun 1949, suasana di AS berubah. Orang-orang China mulai dicurigai. Seorang direktur JPL mencurigai adanya jaringan mata-mata dan melaporkan para staf, termasuk Qian, ke FBI.
“Semua orang yang dicurigai adalah orang China dan Yahudi,” kata penulis Fraser Macdonald.
FBI menuduh Qian sebagai simpatisan komunis berdasarkan kehadirannya dalam sebuah pertemuan sosial yang dianggap milik Partai Komunis Pasadena pada 1938.
Ia menyangkal jadi anggota partai. Meski begitu, studi baru menyebut ia sempat bergabung, seperti Frank Malina. Tapi saat itu, banyak orang mendukung komunisme sebagai bentuk perlawanan terhadap rasisme dan fasisme.
Menurut Prof. Zuoyue Wang dari California Polytechnic State University, tak ada bukti Qian berbuat spionase atau jadi agen intelijen China. Namun ia kehilangan izin keamanan dan dijadikan tahanan rumah. Surat pembelaan dari von Karman dan ilmuwan lain tak membuahkan hasil.
Tahun 1955, Presiden Eisenhower akhirnya memutuskan mendeportasinya. Qian meninggalkan AS dengan kapal bersama istri dan anak-anaknya. Ia bersumpah takkan pernah kembali, dan ia menepatinya.
“Ia adalah salah satu ilmuwan terkemuka AS. Ini bukan hanya penghinaan, tapi pengkhianatan,” kata jurnalis Tianyu Fang.
Setibanya di China, Qian disambut sebagai pahlawan, meskipun awalnya Partai Komunis sempat ragu. Istrinya anak seorang pemimpin Nasionalis, dan Qian pernah mengajukan permohonan kewarganegaraan AS.
Ia baru bergabung dengan Partai pada 1958, lalu hati-hati menjaga posisi politiknya. Ia selamat dari Revolusi Kebudayaan dan membangun karier cemerlang.
Saat ia tiba, China nyaris tak mengenal teknologi roket. Namun dalam 15 tahun, ia berhasil meluncurkan satelit pertama China.
Ia melatih generasi ilmuwan baru dan membangun fondasi program luar angkasa dan rudal nuklir negara itu.
Ironisnya, rudal yang ia bantu kembangkan, seperti Silkworm, kemudian digunakan untuk menyerang AS, termasuk dalam Perang Teluk dan terhadap kapal USS Mason di Yaman tahun 2016.
Macdonald menyebut deportasi Qian sebagai blunder besar.
“Dengan menyingkirkan seorang ahli, AS justru memperkuat musuhnya. Itu kesalahan geopolitik luar biasa.”
Mantan Sekretaris Angkatan Laut Dan Kimball bahkan menyebut pemulangan Qian sebagai “hal terbodoh yang pernah dilakukan negara ini.”
Kini, ketegangan antara China dan AS kembali memuncak, bukan karena ideologi, tapi karena persaingan teknologi dan geopolitik.
Kisah Qian kembali relevan, terutama di tengah kebijakan anti-imigran dan anti-China yang makin keras.
Banyak mahasiswa China di AS mengetahui kisah Qian dan khawatir mengalami hal serupa. “Mereka tahu bisa saja dicurigai seperti generasi Qian,” kata Tianyu Fang.
Qian Xuesen tidak pernah kembali ke AS. Ia meninggal tahun 2009.
Kisahnya adalah peringatan keras tentang akibat ketika negara menyingkirkan pengetahuan demi paranoia.
Seperti kata Macdonald, “Sejarah ilmu pengetahuan AS dibangun oleh para imigran. Tapi kini, sejarah itu semakin sulit dirayakan.”
Kontribusi JPL dan ilmuwan seperti Qian sering diabaikan, berbeda dengan pengakuan terhadap Wernher von Braun, seorang mantan Nazi.
"Fakta bahwa program luar angkasa AS dirintis oleh kaum sosialis lokal, Yahudi atau China, adalah kisah yang sulit diterima oleh Amerika," pungkas Macdonald.
Qian hidup hampir seabad. Dalam masa itu, China berubah dari negara lemah menjadi kekuatan luar angkasa.
Qian adalah bagian penting dari transformasi tersebut. Sayangnya, Amerika melewatkan kesempatan emas untuk menjadikannya milik mereka sendiri.
Saat China mendaratkan wahana di sisi jauh Bulan tahun 2019, lokasi pendaratan dinamai Kawah Von Karman, mentor Qian. Sebuah penghormatan yang mungkin juga diam-diam ditujukan untuk sang murid.
Dan secara tak langsung, menjadi bukti bahwa kebijakan antikomunis Amerika kala itu justru membantu China menaklukkan luar angkasa.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]