WAHANANEWS.CO, Jakarta - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan pentingnya mengurangi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dengan kandungan sulfur tinggi di Indonesia untuk meningkatkan kualitas udara yang lebih sehat.
Sekretaris Utama BMKG, Dwi Budi Sutrisno, menyampaikan pada Rabu di Jakarta bahwa emisi kendaraan bermotor masih menjadi kontributor utama gas rumah kaca, terutama karena mayoritas kendaraan di Indonesia masih menggunakan BBM dengan kadar sulfur yang tinggi, jauh di atas standar global yang maksimal 50 ppm.
Baca Juga:
Jadi Solusi Masalah Krisis Iklim Global, Apa Itu Mikroalga?
BBM bersulfur tinggi seperti Pertalite, Pertamax, dan Solar yang banyak digunakan di Indonesia memiliki kadar sulfur sekitar 500 ppm (parts per million).
Menurut data BPH Migas hingga April 2024, konsumsi BBM Pertalite telah mencapai 10 juta kiloliter atau sekitar 31,36 persen dari target 31,60 juta kiloliter hingga akhir 2024.
Pada periode yang sama, penggunaan Solar Subsidi mencapai 2,57 juta kiloliter atau 300,12 persen dari total kuota 18,49 juta kiloliter hingga akhir tahun.
Baca Juga:
Sempat Turun, Jakarta Kembali Jadi Kota Paling Berpolusi Nomor Satu di Dunia
"500 ppm itu sangat tinggi. Bagaimana mungkin itu tidak memengaruhi kehidupan kita, terutama di kota-kota padat seperti Jakarta yang udaranya terasa sesak akibat kemacetan?" ujar Dwi Budi, mengutip Antara, Kamis (17/10/2024).
Ia juga menyoroti bahwa Indonesia sebenarnya sudah memiliki bahan bakar dengan kualitas lingkungan yang lebih baik seperti Pertamax Turbo/Green dan Pertadex dengan kandungan sulfur 50 ppm.
Namun, penggunaan bahan bakar rendah sulfur ini masih sangat terbatas, salah satunya karena alasan ekonomi.
"Memang menggunakan BBM yang ramah lingkungan itu lebih mahal, tapi jika dibandingkan dengan manfaatnya bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan, ini sangat relevan," lanjutnya.
Jakarta menjadi contoh nyata bagaimana buruknya kualitas udara yang diperparah oleh emisi kendaraan bermotor berdampak pada kesehatan masyarakat.
Indeks kualitas udara (IAQ) di Jakarta saat ini berada di angka 178, dengan polutan utama berupa PM 2,5 dan konsentrasi 94 mikrogram per meter kubik (m3), yang 18,8 kali lipat lebih tinggi dari panduan tahunan kualitas udara WHO.
Pertumbuhan kendaraan di Jakarta mencapai 9 persen per tahun, dengan lebih dari 23 juta kendaraan yang beroperasi setiap hari.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa dampak kesehatan akibat buruknya kualitas udara di Jakarta diperkirakan merugikan sekitar Rp60 triliun per tahun, dan bisa mencapai Rp100 triliun jika ditambah dengan kerugian operasional kendaraan seperti biaya bahan bakar yang mencapai Rp40 triliun per tahun.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]