WahanaNews.co | Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengungkapkan aduan orang tua dari tiga siswa SD Negeri 051 di Tarakan, Kalimantan Utara, yang tidak naik kelas selama tiga tahun berturut-turut.
Ketiga anak tersebut tidak naik kelas diduga terkait kepercayaan yang dianut.
Baca Juga:
Sikapi Berita Minor Media Asing, Yasonna Laoly: Tak Seburuk Itu!
Retno mengatakan tiga anak tersebut merupakan kakak beradik yang menganut kepercayaan Saksi Yehuwa. Mereka adalah M (14) kelas 5 SD, Y (13) kelas 4 SD; dan YT (11) kelas 2 SD.
Ketiganya tidak naik kelas pada tahun ajaran 2018/2019, 2019/2020, dan 2020/2021.
"Orangtua korban membuat pengaduan ke KPAI dan atas pengaduan tersebut, KPAI segera melakukan koordinasi dengan Itjen KemendikbudRistek untuk pemantauan bersama ke Tarakan," kata Retno dalam keterangan tertulis, Minggu (21/11).
Baca Juga:
PBB Kota Binjai Bebagi Takzil Dengan Rasa Toleransi
Karena tinggal kelas selama tiga tahun berturut-turut, kata Retno, kondisi psikologis ketiga anak tersebut sangat terpukul.
Mereka sudah mulai kehilangan semangat belajar dan malu dengan teman-temannya.
Retno mengatakan persoalan yang menimpa ketiga anak itu bukan karena mereka tidak pandai secara akademik, melainkan perlakuan diskriminatif dari pihak sekolah atas keyakinan yang mereka anut.
"Ketiga anak sudah menyatakan dalam zoom meeting dengan KPAI dan Itjen KemendikbudRistek, bahwa mereka tidak mau melanjutkan sekolah jika mereka tidak naik kelas lagi untuk keempat kalinya," tutur Retno.
Merespon perlakuan ini, orangtua ketiga anak tersebut lantas melakukan perlawanan hukum. Mereka menggugat keputusan sekolah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan selalu menang. Namun, pihak sekolah selalu memiliki alasan untuk tidak menaikkan ketiga anak itu.
Lebih lanjut, Retno mengungkapkan pihak sekolah tidak menaikkan kelas tiga kakak beradik itu dengan alasan yang berbeda-beda.
Saat tinggal kelas pertama (2018/2019) misalnya, ketiga bersaudara itu tidak naik kelas karena dianggap tidak hadir tanpa alasan selama tiga bulan. Padahal, kata Retno, saat itu ketiganya dikeluarkan sekolah pada 15 Desember 2018.
Mereka baru kembali belajar di sekolah setelah PTUN Samarinda menetapkan putusan sela pada 16 April 2019 hingga putusan itu berkekuatan hukum tetap. Sekolah lantas memutuskan ketiganya tidak naik kelas.
Pada 8 Agustus 2019, PTUN Samarinda membatalkan keputusan sekolah karena terbukti melanggar hak-hak anak atas pendidikan dan kebebasan melaksanakan keyakinan mereka.
PTUN Samarinda menilai tindakan sekolah mengeluarkan, menghukum, dan menganggap pelaksanaan keyakinan mereka sebagai pelanggaran hukum tidak sejalan dengan perlindungan konstitusi atas keyakinan agama dan ibadah.
"Meski hak-hak ketiga anak atas keyakinan beragama dan pendidikan dihormati dan diteguhkan di PTUN, sehingga mereka kembali ke sekolah, namun mereka diperlakukan secara tidak adil karena tidak naik kelas untuk alasan yang tidak sah", ujar Retno.
Belum ada keterangan atau pernyataan dari pihak sekolah tentang aduan orang tua siswa ke KPAI ini.
Pada saat tinggal kelas kedua kalinya (2019/2020), mereka dinilai tidak mendapatkan pelajaran dan tidak memiliki nilai Agama.
Retno menuturkan, setelah ketiganya kembali belajar, pihak sekolah tidak memberikan akses pendidikan Agama Kristen yang disediakan sekolah.
Padahal, kata Retno, orang tua ketiga anak ini, AT, sudah berkali-kali meminta pihak sekolah memberikan pelajaran Agama Kristen agar anaknya bisa naik kelas.
Namun, pihak sekolah mempersulit dengan alasan-alasan yang tidak memiliki landasan hukum.
Sekolah terus membiarkan ketiga anak tersebut tidak mengakses pelajaran agama Kristen hingga akhir tahun ajaran 2019/2020.
"Selama tahun ajaran 2019-2020, Bapak AT terus berupaya meminta agar ketiga anaknya diberikan akses pendidikan Agama dari pihak sekolah. AT tidak pernah menolak kelas Agama Kristen tersebut, bahkan memintanya," terang Retno.
Dalam persoalan ini, pihak sekolah sempat mengajukan syarat kepada AT agar anaknya mendapatkan rekomendasi untuk mengakses pelajaran tersebut dari Binmas Kristen Kota Tarakan.
AT kemudian mendapatkan surat Rekomendasi dari Kementerian Agama No.: B.017/KK.34.03/6/BA.03/01/2020.
Di sisi lain, Guru Pendidikan Jasmani dan Pembimbing Pendidikan Agama Kristen sekolah itu keberatan membiarkan ketiga kakak beradik tersebut mengikuti pelajaran Agama karena perbedaan ajaran dan keyakinan.
Menurut Retno, dalam persoalan ini pihak sekolah telah melakukan pelanggaran hukum. Mereka juga aktif menghalangi ketiga anak itu untuk mendapatkan pendidikan pelajaran Agama.
"Sekolah telah melanggar hukum dengan sama sekali tidak memberikan pelajaran Agama, menetapkan syarat-syarat yang tidak berdasar hukum, serta mempersoalkan keyakinan Agama dari ketiga anak", ujar Retno.
Pada persoalan ini, PTUN Samarinda menyatakan keputusan sekolah tidak menaikkan kelas ketiga anak tersebut keliru dan dilatarbelakangi sikap diskriminatif.
Sementara, pada tinggal kelas ketiga (2020/2021) pihak sekolah beralasan nilai agama ketiga anak tersebut rendah.
Meski M, Y, dan YT sudah bisa mengikuti pelajaran Agama, guru yang bersangkutan memberikan mereka nilai rendah. Akibatnya, mereka tidak bisa naik kelas.
Menurut Retno, guru Agama tersebut memaksa ketiga anak itu menyanyikan lagu rohani meskipun tidak sesuai dengan akidah dan keyakinan mereka.
Karena tidak bisa, mereka mendapatkan nilai rendah dan tidak bisa naik kelas. [rin]