WahanaNews.co, Jakarta - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa fenomena El Nino telah berakhir, ditandai dengan anomali suhu permukaan laut (SST) yang menunjukkan ENSO berada dalam fase Netral dengan indeks 0,11.
"Anomali SST di Nino3.4 menunjukkan ENSO dalam kondisi Netral (indeks 0,11). Ini menandakan fenomena El Nino 2023/2024 telah berakhir dan sekarang berada dalam kondisi Netral," demikian hasil Analisis Dinamika Atmosfer Dasarian II Juli 2024 yang dipublikasikan BMKG pada Rabu (23/7/2024).
Baca Juga:
Dinsos Kota Bengkulu Siagakan 80 Tagana Antisipasi Dampak Fenomena La Nina
"BMKG dan beberapa pusat iklim dunia memprediksi kondisi Netral ini berpotensi berubah menuju La Nina mulai Agustus 2024," tulis BMKG.
Selain itu, Indeks IOD (Indian Ocean Dipole) pada Juni 2024 tercatat sebesar -0,49 (Netral). BMKG dan beberapa pusat iklim dunia memperkirakan IOD Netral akan berlangsung dari Agustus 2024 hingga Januari 2025.
Sebelumnya, IOD positif dan El Nino disebut sebagai dua faktor yang menyebabkan musim kemarau 2023 menjadi lebih ekstrem, panas, dan panjang.
Baca Juga:
Ancaman La Nina Tak Seburuk Dugaan, BMKG Ungkap Sisi Positif Tersembunyi
Apa Itu Fenomena La Nina?
Menurut situs resmi BMKG, ENSO adalah anomali suhu permukaan laut di Samudra Pasifik di pantai barat Ekuador dan Peru yang lebih tinggi dari rata-rata normalnya.
Iklim di Samudra Pasifik terbagi dalam tiga fase: El Nino, La Nina, dan Netral.
Pada fase Netral, angin pasat berhembus dari timur ke barat melintasi Samudra Pasifik, menghasilkan arus laut yang juga mengarah ke barat yang disebut Sirkulasi Walker. Suhu permukaan laut di barat Pasifik akan selalu lebih hangat dibanding bagian timur Pasifik.
Sementara saat fase El Nino, angin pasat yang biasa berhembus dari timur ke barat melemah atau bahkan berbalik arah. Pelemahan ini dikaitkan dengan meluasnya suhu muka laut yang hangat di timur dan tengah Pasifik.
Air hangat yang bergeser ke timur menyebabkan penguapan, awan, dan hujan pun ikut bergeser menjauh dari Indonesia. Hal ini berarti Indonesia mengalami peningkatan risiko kekeringan.
Ketika fase La Nina terjadi, hembusan angin pasat dari timur Pasifik ke arah barat sepanjang ekuator menjadi lebih kuat dari biasanya. Penguatan angin pasat ini mendorong massa air laut ke arah barat, sehingga suhu permukaan laut di timur Pasifik menjadi lebih dingin.
Bagi Indonesia, kondisi ini meningkatkan risiko banjir, menurunkan suhu udara pada siang hari, dan meningkatkan jumlah badai tropis.
"El Nino menunjukkan kondisi anomali suhu permukaan laut di Samudra Pasifik
ekuator bagian timur dan tengah yang lebih panas dari biasanya, sementara suhu permukaan laut di wilayah Pasifik bagian barat dan perairan Indonesia yang biasanya hangat menjadi lebih dingin," jelas BMKG di situs resminya, Selasa (23/7/2024).
"Ketika El Nino terjadi, daerah pertumbuhan awan bergeser dari wilayah Indonesia ke Samudra Pasifik bagian tengah, yang menyebabkan berkurangnya curah hujan di Indonesia," tambah BMKG.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]