WAHANANEWS.CO - Lautan yang selama ini dikenal sebagai ‘mesin’ pembentuk badai tropis dan topan terkuat di dunia kini mengalami pemanasan signifikan, sebuah kondisi yang memicu kekhawatiran baru soal kekuatan badai di masa depan.
Fenomena pemanasan yang terjadi di Samudra Atlantik Utara dan Samudra Pasifik Barat ini bukan hanya dipicu oleh meningkatnya suhu permukaan laut, tetapi juga oleh akumulasi panas yang menembus hingga lapisan laut yang lebih dalam, sehingga badai berpotensi menjadi semakin kuat dan sulit diprediksi.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa perubahan iklim akibat aktivitas manusia bertanggung jawab atas sekitar 70 persen perluasan wilayah panas tempat terbentuknya badai tropis.
Seiring meluasnya titik panas tersebut, para ilmuwan memperkirakan kemungkinan munculnya badai tropis dengan intensitas sangat ekstrem, yang bahkan dijuluki sebagai badai Kategori 6, akan meningkat dan berpotensi mendarat di wilayah pesisir yang padat penduduk.
Baca Juga:
Suhu Bumi Diprediksi Tembus 1,4 Derajat, Ancaman Krisis Iklim Kian Nyata
“Wilayah-wilayah panas telah meluas,” kata I-I Lin, profesor emeritus Departemen Ilmu Atmosfer Universitas Nasional Taiwan, Kamis (25/12/2025).
Lin mempresentasikan hasil penelitiannya tentang siklon tropis dalam paparan lisan pada Pertemuan Tahunan American Geophysical Union (AGU) 2025 di New Orleans, Louisiana.
Lin telah meneliti badai tropis dan topan paling ekstrem selama lebih dari satu dekade, dan penelitiannya semakin intensif setelah Topan Haiyan atau Topan Super Yolanda menghantam Filipina pada November 2013 dengan kekuatan puncak yang menewaskan ribuan orang.
Baca Juga:
Prabowo Tinjau Dapur Umum di GOR Pandan Tapteng, Prioritaskan BBM dan Pemulihan Listrik
Pada 2014, Lin bersama rekan-rekannya menerbitkan penelitian di jurnal AGU Geophysical Research Letters yang menyatakan bahwa badai dengan kekuatan ekstrem seperti Haiyan membutuhkan klasifikasi baru, yakni Kategori 6.
Berdasarkan usulan tersebut, badai tropis Kategori 6 mencakup badai dengan kecepatan angin melebihi 160 knot, sementara selama ini badai dengan kecepatan angin di atas 137 knot masih diklasifikasikan sebagai Kategori 5, yang dianggap sebagai tingkat tertinggi oleh sebagian besar badan meteorologi.
Lin mencatat bahwa sebagian besar kategori badai memiliki rentang sekitar 20 knot, sehingga penambahan Kategori 6 dinilai lebih konsisten dengan sistem klasifikasi yang ada, seperti Kategori 4 yang mencakup kecepatan angin antara 114 hingga 137 knot.
Beberapa badai besar yang pernah tercatat dinilai masuk ke dalam kriteria Kategori 6 yang diusulkan tersebut, salah satunya Badai Tropis Wilma pada 2005 yang hingga kini tercatat sebagai badai tropis terkuat di Cekungan Atlantik.
Selain Wilma, Badai Tropis Haiyan dan Hagibis juga memenuhi kriteria Kategori 6, dengan Hagibis yang menghantam Tokyo pada 2019 dan menyebabkan kerusakan besar akibat hujan serta angin meski sempat melemah sebelum mencapai daratan.
Contoh lain yang paling menonjol adalah Badai Patricia yang terbentuk di Samudra Pasifik di lepas pantai Meksiko, yang tercatat sebagai siklon tropis terkuat yang pernah diamati dengan kecepatan angin mencapai 185 knot.
“Patricia adalah raja dunia,” ujar Lin.
Untuk memahami seberapa sering badai ekstrem ini terjadi, Lin dan timnya meninjau catatan badai tropis besar selama 40 tahun terakhir dan menemukan bahwa badai dengan kecepatan angin di atas 160 knot kini semakin sering muncul.
Pada periode 1982 hingga 2011, tercatat delapan badai dengan intensitas tersebut, sementara pada periode 2013 hingga 2023 jumlahnya meningkat menjadi 10 badai.
Secara keseluruhan, sebanyak 18 badai yang memenuhi kriteria Kategori 6 telah terjadi dalam empat dekade terakhir, dengan lebih dari setengahnya terbentuk hanya dalam satu dekade terakhir.
Dalam paparannya di Pertemuan Tahunan AGU 2025, Lin juga menunjukkan bahwa hampir seluruh badai tropis Kategori 6 berkembang di wilayah titik panas laut tertentu.
Titik panas terbesar berada di Samudra Pasifik Barat, tepatnya di sebelah timur Filipina dan Borneo, sementara titik panas utama lainnya membentang di Samudra Atlantik Utara di sebelah timur Kuba, Hispaniola, dan Florida.
Penelitian tersebut menemukan bahwa wilayah titik panas ini terus meluas, di mana di Atlantik Utara daerah panas meluas ke timur melampaui pantai utara Amerika Selatan dan ke barat hingga mencakup sebagian besar Teluk.
Ukuran titik panas di Samudra Pasifik Barat juga tercatat mengalami peningkatan yang signifikan.
Titik panas laut ini tidak hanya ditentukan oleh suhu air permukaan, tetapi juga oleh keberadaan lapisan panas yang tidak biasa di bawah permukaan laut.
Di banyak wilayah lautan, badai kuat biasanya mengaduk air dingin dari lapisan bawah yang dapat melemahkan badai, namun di kawasan titik panas, air hangat menjangkau hingga kedalaman tertentu sehingga badai tidak mudah kehilangan energinya.
Lin menegaskan bahwa laut yang hangat saja tidak otomatis menghasilkan badai Kategori 6 karena kondisi atmosfer juga harus mendukung.
“Titik panas adalah syarat yang diperlukan tetapi tidak cukup,” tegasnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]