WAHANANEWS.CO, Jakarta - Sebuah studi terbaru mengungkap cadangan hidrogen putih besar, yang disebut-sebut bisa menjadi pengganti bahan bakar fosil, kemungkinan ada di dalam pegunungan.
Cadangan hidrogen putih ini diharapkan dapat diekstraksi dan meningkatkan upaya mengatasi krisis iklim.
Baca Juga:
Pesta Raya Flobamoratas, Ajang Festival Mendekatkan Isu Perubahan Iklim kepada Masyarakat Luas
Hidrogen putih baru-baru ini menarik perhatian karena potensinya untuk membantu menggantikan bahan bakar fosil yang memanaskan bumi. Baru beberapa dekade yang lalu beberapa ilmuwan mulai mengatakan bahwa bahan bakar yang kuat ini - yang juga disebut hidrogen "alami" atau "geologis" - ada di dalam kerak bumi dalam jumlah besar.
Sejak saat itu, para ahli geologi telah meneliti bagaimana hidrogen terbentuk dan di mana lokasinya. Masalah utamanya adalah mencari tahu di mana menemukan volume yang cukup besar yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi manusia yang tak pernah terpuaskan.
Untuk menemukan jawabannya, sekelompok tim ilmuwan menggunakan model komputer untuk mensimulasikan pergerakan lempeng tektonik Bumi dan menunjukkan daerah-daerah yang memiliki kondisi yang tepat untuk menghasilkan hidrogen putih.
Baca Juga:
Hadapi Krisis Iklim Global di NTT, VCA Gelar Dialog Publik Bertajuk "Suara Bae Dari Timur"
Para ilmuwan, dalam hasil penelitian yang diterbitkan di jurnal Science Advances, menemukan bahwa pegunungan seperti Pyrenees dan Pegunungan Alpen Eropa merupakan titik-titik yang potensial.
Hidrogen, yang hanya menghasilkan air saat dibakar, telah lama dilirik sebagai bahan bakar ramah lingkungan, terutama untuk industri yang membutuhkan energi seperti penerbangan dan pembuatan baja.
Namun, sebagian besar hidrogen komersial diproduksi menggunakan bahan bakar fosil, sehingga mengalahkan kemampuannya dalam menyelamatkan iklim.
Ketertarikan ini berawal dari penemuan hidrogen putih yang tidak disengaja di Mali pada tahun 1987, ketika sebuah sumur air meledak. Sumur tersebut dengan cepat ditutup, tetapi dicabut pada tahun 2011 dan sejak itu telah memproduksi hidrogen untuk membantu menyalakan listrik di desa setempat.
Hidrogen putih telah ditemukan di Amerika Serikat, Australia dan Prancis, tetapi masalahnya adalah menemukan hidrogen dalam jumlah besar.
“Kami telah mengetahui bahwa alam menghasilkan hidrogen, tetapi tidak pernah benar-benar dieksplorasi sebagai pilihan untuk produksi energi," kata Frank Zwaan, penulis studi dan ahli geologi di Helmholtz Centre for Geosciences di Jerman, melansir CNN, Senin (24/2).
Menurut Frank, sumber energi lain lebih mudah diakses, tetapi krisis iklim yang semakin parah meningkatkan perlombaan untuk menemukan energi alternatif.
Gas ini terbentuk secara alami melalui banyak proses, termasuk peluruhan radioaktif di kerak Bumi. Namun, tim peneliti berfokus pada "serpentisasi," di mana air berinteraksi dengan batuan kaya besi dari mantel Bumi untuk menghasilkan hidrogen.
Batuan ini biasanya berada jauh di dalam Bumi di mana air tidak tersedia, tapi proses geologi selama jutaan tahun dapat mendorongnya ke permukaan. Hal ini terjadi di bawah lautan saat benua-benua pecah sehingga memungkinkan batuan mantel naik, dan juga saat benua-benua bertabrakan, menutup cekungan samudra dan memaksa batuan mantel naik ke atas.
Para ilmuwan menggunakan pemodelan lempeng tektonik untuk menentukan di mana dan kapan batuan mantel ini digali dan berapa jumlahnya.
Mereka menemukan bahwa beberapa pegunungan tertentu, termasuk Pyrenees, Pegunungan Alpen Eropa, dan beberapa bagian Himlaya, menawarkan kondisi yang baik untuk menghasilkan hidrogen putih, karena terdapat sejumlah besar batuan mantel dengan suhu yang baik, dan patahan yang dalam memungkinkan air bersirkulasi.
Jumlah batuan mantel yang tersedia untuk diserpentasikan di pegunungan saja menunjukkan bahwa hidrogen putih bisa mengubah permainan dalam penanganan krisis iklim.
Geoffrey Ellis, ahli geokimia dari US Geological Survey (USGS), yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan bahwa proses yang membawa batuan mantel mendekati permukaan sudah banyak diketahun. Namun, yang baru dari penelitian ini adalah bahwa hasil studi ini menyediakan pendekatan kuantitatif untuk menilai potensi hidrogen putih dari berbagai tempat yang berbeda di mana batuan mantel terangkat.
Menurut Frank, pertanyaan besarnya sekarang adalah menemukan di mana hidrogen putih terakumulasi di reservoir besar yang dapat dibor. Hal ini juga memungkinkan untuk merangsang serpentisasi secara artifisial dengan mengebor area di mana batuan mantel dekat dengan permukaan dan memompa air.
Eksplorasi awal sudah dilakukan di beberapa daerah termasuk Prancis, Balkan dan AS.
Ellis menjelaskan penelitian baru ini dapat membantu memandu para ahli geologi ke daerah-daerah dengan potensi terbesar untuk sumber daya hidrogen putih berskala besar dan kemungkinan besar akan memiliki dampak langsung dan substansial terhadap eksplorasi hidrogen geologi.
Ada banyak langkah untuk menciptakan industri hidrogen putih yang layak, termasuk mengembangkan metode yang dapat diandalkan dan ekonomis untuk mengekstraknya dan infrastruktur untuk menyimpan dan mengangkutnya. Kemungkinan akan memakan waktu puluhan tahun untuk dikomersialkan.
"Kita tidak boleh berharap ini akan menjadi obat ajaib yang instan," kata Frank.
"Minyak adalah sesuatu yang membuat penasaran sampai tekniknya siap untuk diterapkan dalam skala besar, hidrogen putih mungkin akan mengikuti jalur yang sama," lanjut dia.
[Redaktur: Alpredo Gultom]