WahanaNews.co, Jakarta - Gunung Marapi, Anak Krakatau, dan Ili Lewotolok mengalami kejadian erupsi pada Senin (4/12/2023) pagi.
Menurut informasi yang dikutip dari situs MAGMA Indonesia, Gunung Anak Krakatau meletus pada pukul 02:21 WIB. Selanjutnya, Gunung Ili Lewotolok di Nusa Tenggara Timur mengalami erupsi mulai pukul 05:53 WITA.
Baca Juga:
Dampak Erupsi Gunung Lewotobi, Bandara Bali Batalkan 90 Penerbangan Dalam Sehari
Kemudian, Gunung Marapi di Sumatra Barat mengalami erupsi pada pukul 08:22 WIB.
Sepanjang tahun 2023, tercatat bahwa Gunung Anak Krakatau mengalami erupsi sebanyak 113 kali, Gunung Ili Lewotolok mengalami 103 letusan, sementara Gunung Marapi tercatat mengalami 33 letusan.
Saat ini, ketiga gunung tersebut dalam kondisi aktif, dengan Gunung Marapi dan Ili Lewotolok berstatus Waspada, sedangkan Anak Krakatau memiliki status Siaga.
Baca Juga:
Peduli Erupsi Lewotobi, PT DLU Kolaborasi dengan BHS Salurkan Bantuan dan Evakuasi Warga
Mengenai keterkaitan erupsi ketiga gunung tersebut yang terjadi pada Senin kemarin, tidak dijelaskan adanya hubungan antara ketiga erupsi tersebut dalam sumber informasi yang diberikan.
Penjelasan PVMBG
Koordinator Pengamatan dan Penyelidikan Gunung Api Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Ahmad Basuki menjelaskan kondisi erupsi yang terjadi di Gunung Marapi, Anak Krakatau, dan Ili Lewotolok pada Senin kemarin.
Menurut Ahmad, penyebab setiap erupsi gunung berapi adalah aktivitas magma di dalam gunung api yang mencoba naik ke permukaan.
Lebih lanjut, Ahmad menjelaskan ketiga gunung tersebut memiliki penyebab erupsi yang berbeda sesuai dengan tipe letusannya.
Dia menjelaskan, Gunung Marapi mengalami erupsi tipe letusan freatik akibat kontak antara air tanah dengan magma. Namun, magmanya tidak naik ke permukaan Bumi.
Sementara Anak Krakatau dan Ili Lewotolok mengalami erupsi magmatik akibat magmanya aktif dan keluar ke permukaan Bumi.
Menurut Ahmad, tidak ada hubungan yang terjadi antara ketiga gunung yang mengalami erupsi tersebut.
"Ketiga gunung api ini tidak memiliki hubungan walaupun masih dalam kawasan ring of fire yang sama," kata Ahmad, melansir Kompas.com, Rabu (6/12/2023).
Ring of Fire
Cincin api atau Ring of Fire merupakan jalur rangkaian gunung berapi sepanjang 40.000 km dan situs aktif seismik yang membentang di Samudra Pasifik.
Keberadaan gunung-gunung di jalur ini membuat Indonesia rentan terkena bencana gempa bumi dan gunung meletus.
Ahmad menjelaskan, setiap gunung api memiliki sifat magma, kantung magma, dan karakter erupsi yang berbeda-beda.
"Indonesia merupakan negara yang memiliki gunung api terbanyak di dunia. Jadi setiap tahunnya ada empat sampai lima gunung api yang erupsi itu sudah biasa," lanjutnya.
Melansir Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), Ring of Fire adalah Cincin Api Pasifik atau Lingkaran Api Pasifik yakni daerah pertemuan lempeng-lempeng tektonik yang menjadikan wilayah yang terlewati jalur Ring of Fire sering mengalami gempa bumi hingga letusan gunung berapi.
Meski disebut sebagai 'lingkaran' atau 'cincin', Ring of Fire ini tidak benar-benar berbentuk lingkaran melainkan berbentuk menyerupai tapal kuda dengan jalur ring of fire mengelilingi Samudera Pasifik, termasuk di dalamnya wilayah Indonesia.
Dilansir National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), jalur Ring of Fire yang membentang sekitar 40.250 kilometer dari ujung selatan Amerika Selatan, di sepanjang pantai barat Amerika Utara, melintasi Selat Bering, turun melalui Jepang, dan ke Selandia Baru.
Zona Ring of Fire ini meliputi serangkaian gunung berapi bawah laut dan lokasi gempa bumi di sekitar tepi Samudra Pasifik. Pada zona Ring of Fire terdiri dari lebih dari 450 gunung berapi.
Melansir Deutsche Welle (DW), negara-negara yang berada di wilayah Ring of Fire ada banyak sekali.
Seperti Indonesia, Filipina, Malaysia, Jepang, Australia dan Selandia Baru, Papua Nugini, dan negara-negara kepulauan lainnya seperti Kepulauan Solomon, Fiji.
Serta banyak lagi di negara di daerah Melanesia, Mikronesia, Polinesia, terus hingga ke pesisir barat Amerika Utara dan Selatan.
Terbentuknya Ring of Fire
Penyebab terbentuknya Ring of Fire adalah hasil dari lempeng tektonik.
Seperti dilansir DW, lempeng tektonik bergerak tanpa henti di atas lapisan batuan yang sebagian padat dan sebagian cair.
Ketika lempeng bertabrakan atau bergerak terpisah, bumi akan ikut bergerak.
Banyak gunung berapi di daerah Ring of Fire terbentuk melalui proses subduksi. Sebagian besar zona subduksi di planet bumi kebetulan berada di wilayah ring of fire.
Subduksi terjadi ketika lempeng tektonik bergeser, dan satu lempeng terdorong ke bawah lempeng lainnya.
Pergerakan yang terjadi di dasar laut ini menghasilkan "transmutasi mineral" yang mengarah pada peleburan dan pemadatan magma yang kemudian akan membentuk gunung berapi.
Jadi, ketika lempeng samudera yang "turun" terdorong ke lempeng mantel yang lebih panas, lempeng samudera ini kemudian ikut memanas.
Zat-zat yang mudah menguap kemudian bercampur, dan menghasilkan magma. Magma kemudian naik melalui yang berada lempeng atasnya dan menyembur keluar ke permukaan.
Namun, jika lempeng di atasnya berupa lautan, aktivitas ini dapat membentuk rantai pulau vulkanik seperti di Kepulauan Mariana di mana terdapat palung laut terdalam dan pernah terjadi gempa bumi terdalam.
Mengutip dari 'Buku Pintar Mengenal Bencana Alam di Indonesia' oleh Wahyu Annisha (2020), daerah Ring of Fire di Indonesia terbentang sepanjang 700 kilometer persegi.
Mulai dari Sumatera, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara hingga Maluku.
Itulah mengapa di Indonesia dengan 127 gunung berapi masih aktif dapat meletus sewaktu-waktu.
Adapun luas daerah yang terancam dampak letusan gunung-gunung berapi tersebut ada sekitar 16.670 kilometer persegi. Itu sebabnya, bagian barat sampai selatan Indonesia disebut sebagai jalur gunung berapi.
Hal yang Memengaruhi Erupsi Gunung
Ahmad menyebutkan, erupsi yang terjadi di gunung-gunung Indonesia tidak memicu erupsi di gunung berapi lainnya.
Meski begitu, dia mengungkapkan, ada hal lain yang lebih berpotensi memengaruhi erupsi gunung berapi yaitu gempa tektonik yang besar.
Menurut Ahmad, secara konseptual, gempa tektonik dapat menghasilkan getaran yang akan merambat ke area sekitarnya.
Jika gempa tersebut melintasi reservoir magma gunung api, getaran tersebut memiliki potensi untuk meningkatkan aktivitas vulkanik gunung dan mengakibatkan erupsi.
Akan tetapi, Ahmad menjelaskan bahwa situasi ini hanya mungkin terjadi pada gunung api yang sudah mengalami peningkatan aktivitas vulkanik.
Apabila gunung api berada dalam kondisi normal, gempa tektonik jarang memicu erupsi pada gunung tersebut.
Ahmad memberikan contoh dengan Gunung Tandikat dan Gunung Talang yang terletak di sekitar Gunung Marapi di Sumatra Barat.
Meskipun Gunung Marapi mengalami erupsi, kedua gunung tersebut masih dalam kondisi normal.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]