WAHANANEWS.CO, Jakarta - Perubahan iklim dan pemanasan global tidak lagi menjadi ancaman yang jauh di cakrawala, tetapi kenyataan yang mulai melucuti salah satu benteng terpenting kehidupan di Bumi: lapisan es di Kutub Selatan dan Kutub Utara.
Lapisan es ini bukan sekadar hamparan putih beku, melainkan penjaga keseimbangan ekosistem planet.
Baca Juga:
BMKG Goes To Campus, Berikan Kuliah Tamu Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan di Universitas Satya Terra Bhinneka
Ketika es mencair, bukan hanya permukaan laut yang naik, tetapi juga rangkaian bencana yang mengancam keberlanjutan kehidupan, dari hilangnya habitat hingga risiko keruntuhan ekosistem global.
Antarktika sendiri terbagi oleh Pegunungan Transantartika, yang menjadi rumah bagi Gunung Erebus dengan danau lava ikoniknya.
Namun, dampak pencairan es di wilayah ini ternyata lebih luas dari sekadar naiknya permukaan laut.
Baca Juga:
BMKG Kalsel Intensifkan Edukasi Masyarakat Terkait Peningkatan Suhu Signifikan Lima Dekade Terakhir
Studi terbaru mengungkap bahwa mencairnya lapisan es di Antarktika dapat "membangunkan" gunung-gunung berapi yang tersembunyi di bawah lapisannya.
Penelitian tersebut, yang diterbitkan dalam jurnal Geochemistry, Geophysics, Geosystems pada Desember 2024, berjudul Magma Chamber Response to Ice Unloading: Applications to Volcanism in the West Antarctic Rift System, menunjukkan adanya potensi aktivitas vulkanik akibat tekanan es yang berkurang.
Dilaporkan oleh Eos pada Jumat (3/1/2025), terdapat lebih dari 100 gunung berapi di bawah permukaan Antarktika.
Sebagian besar gunung ini terletak di sepanjang pantai barat Antarktika, dengan beberapa memiliki puncak yang tersembunyi jauh di bawah lapisan es.
Aktivitas vulkanik ini disebut sebagai letusan subglasial, yakni letusan di bawah es yang melibatkan interaksi antara lava dan lapisan es.
Para peneliti menggunakan sekitar 4.000 simulasi komputer untuk mempelajari dampak pencairan es terhadap aktivitas vulkanik di Antarktika.
Hasilnya menunjukkan bahwa berkurangnya lapisan es dapat meningkatkan frekuensi dan intensitas letusan.
Hal ini terjadi karena lapisan es yang semakin tipis mengurangi tekanan pada magma di bawah permukaan, sehingga magma lebih bebas memuai dan meningkatkan tekanan pada dinding dapur magma.
Beberapa dapur magma di bawah lapisan es Antarktika diketahui mengandung gas volatil dalam jumlah besar, seperti karbon dioksida, sulfur dioksida, dan uap air.
Ketika tekanan dari lapisan es berkurang akibat pencairan, gas-gas ini dapat terlepas dengan cepat, menghasilkan tekanan tambahan yang memicu letusan vulkanik lebih dahsyat.
Letusan subglasial ini sering kali tidak tampak di permukaan karena terjadi jauh di bawah lapisan es. Namun, energi panas yang dilepaskan mampu mencairkan es secara signifikan, menciptakan danau subglasial atau bahkan mempercepat aliran gletser.
Proses ini melemahkan stabilitas lapisan es, yang pada akhirnya dapat meningkatkan risiko pecahnya lapisan es utama, seperti yang pernah terjadi pada Larsen B Ice Shelf di tahun 2002.
Siklus ini bersifat merusak: mencairnya es memicu letusan vulkanik, sementara letusan tersebut mempercepat pencairan lebih lanjut.
Para ilmuwan memperkirakan bahwa proses ini terjadi secara perlahan, berlangsung selama beberapa abad.
Namun, skala waktu yang panjang tidak mengurangi dampaknya, terutama karena interaksi ini dapat mempercepat hilangnya lapisan es utama Antarktika, yang berpotensi menaikkan permukaan laut hingga lebih dari 3 meter dalam beberapa abad mendatang.
Yang lebih mengkhawatirkan, siklus destruktif ini dapat tetap berlangsung meskipun upaya global untuk menekan pemanasan iklim berhasil.
Hal ini menunjukkan bahwa dampak dari perubahan iklim dapat melampaui kemampuan manusia untuk segera mengendalikan situasi, menegaskan perlunya tindakan cepat dan jangka panjang.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]