WahanaNews.co, Jakarta - Dalam beberapa pekan terakhir, Tangerang Selatan dan Jakarta menempati posisi elite ranking kualitas udara terburuk Indonesia. Di saat yang sama, musim kemarau sudah menerpa Jabodetabek dan El Nino sudah muncul.
Polusi udara yang pekat di sekitar Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) diduga terkait hujan yang tak turun-turun akibat asap pembakaran yang diperparah efek fenomena El Nino.
Baca Juga:
Periset BRIN Gagas Pembentukan Komite Cuaca Ekstrem
"Betul [ada kaitannya dengan El Nino]. Jadi biasanya karena berhubungan dengan kebakaran hutan," kata Profesor Meteorologi dan Klimatologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Edvin Aldrian meansir CNNIndonesia.com, Senin (14/8/2023).
"Kalau di Jakarta karena musim kemarau banyak ladang-ladang yang dibakar jadi banyak asap yang mengambang," imbuh dia, yang baru saja menerima penghargaan Bintang Jasa Pratama dari Presiden Jokowi, hari ini.
Berdasarkan data situs pemantau kualitas udara IQAir, per Senin (14/8) pukul 15.21 WIB, Tangerang Selatan, Banten, mendapat skor 170 alias masuk kategori tak sehat (unhealthy) dan berada di posisi kedua nasional.
Baca Juga:
Singgung Masalah Stunting di RI, Megawati ‘Jewer’ Peneliti BRIN
Sementara, Jakarta ada di posisi keenam dengan skor 148 yang masuk kategori tak sehat untuk kelompok sensitif. Sementara, kualitas udara terburuk ada di Terentang, Kalbar, dengan skor 176.
Apa hubungannya dengan El Nino?
El Nino merupakan fenomena pemanasan muka air laut di Samudera Pasifik yang berdampak pada penurunan curah hujan global, termasuk di Indonesia.
Data terbaru Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap El Nino masuk dalam tahap moderat.
Hal itu ditandai lewat Southern Oscillation Index (SOI) yang mencapai -13.6; dan Indeks NINO 3.4 yang mencapai +1.04, yang berarti tidak signifikan.
Saat hujan makin jarang, Edvin mengungkap wet deposition alias proses penting untuk menghilangkan gas dan partikel dari atmosfer jadi hilang.
"Karena tidak hujan, jadi dia banyak sekali polutan yang beredar di atmosfer," ungkap dia.
Edvin menyebut kandungan polutan tinggi, yakni PM2.5 dan PM10, berdampak buruk sekali buat kesehatan, terutama anak-anak.
"Kalau paling parah itu kesehatan. Kalau sekarang itu stunting. Nanti bahaya untuk anak-anak kecil, anak balita. Karena PM2,5 itu seperempat dari ukuran rambut. Nah itu bahaya juga," tutur dia.
"Bahaya itu karena masuk ke aliran darah, kemudian saya khawatirnya merusak sistem syaraf, jadi bisa stunting. Kecerdasan dia lambat tumbuhnya itu," lanjut dia.
Hal yang sama terjadi pada orang dewasa. "Ya sama juga. Kalau masalah pernapasan itukan biasanya PM5 atau PM10 itu bisa ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut)."
Ia pun menyarankan pemerintah untuk menambah populasi pohon, melakukan hujan buatan, hingga membuat aliran air buatan di bangunan vertikal.
"Kalau saya bilang Jakarta itu diperbanyak air yang mengalir dari atas. Bukan air mancur, tetapi jendela gedung-gedung dialiri air biar terjadi wet deposition," tuturnya.
Menurutnya, metode mengaliri air di bangunan vertikal sudah banyak diterapkan, seperti salah satunya di Singapura. "Makanya udaranya bersih".
Metode pengaliran air itu dilakukan di banyak gedung, sehingga debu dan kandungan lain yang ada di udara turut terbawa oleh air.
"Saya fikir ini efektif sekali, kalau bisa di semua gedung, ini kalau kita mau bicara yang ekstrem," tandas Peneliti Ahli Utama di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional itu.
Sebelumnya, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sigit Reliantoro mengungkap polusi di Jabodetabek bukan karena dampak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di sekitarnya, terutama di Suralaya, Banten.
Ia pun mengungkap cara efektif menghilangkan polusi udara adalah "hujan, karena dia akan membilas udara yang ada di Jakarta," lanjutnya.
[Redaktur: Alpredo Gultom]