WahanaNews.co, Jakarta - Topik mengenai kecerdasan buatan (AI) generatif menjadi salah satu bahasan hangat sepanjang 2023 terutama sejak ChatGPT diperkenalkan dan memberikan impresi baru kepada pengguna global.
Sejak saat itu tampaknya pengembangan AI generatif semakin masif dan beragam, salah satunya seperti yang dilakukan oleh tim peneliti dari Technical University of Denmark (DTU) yang mendalami AI untuk memprediksi waktu kematian manusia.
Baca Juga:
Prediksi Susunan Pemain Metro Muda vs Tunas Mekar Jelang Laga 16 Besar Sore Ini
Studi yang dipimpin oleh Sune Lehmann dan diikuti tujuh orang peneliti lainnya itu sebenarnya menggunakan sistem yang serupa dengan ChatGPT namun yang berbeda ialah data yang digunakan berupa data kesehatan sehingga akhirnya AI tersebut bisa memberikan prediksi mengenai kematian.
Studi berjudul "Using sequences of life-events to predict human lives" itu dimuat dalam jurnal "Nature Computational Science" yang baru saja dirilis pada 18 Desember 2023.
Sebagai rangkuman, jurnal tersebut menyebut ada enam juta data warga Denmark dari kurun waktu 2008-2020 yang digunakan untuk melatih AI tersebut dan terdiri atas informasi pendidikan individu, kunjungan individu ke dokter atau rumah sakit, diagnosis penyakit, pendapatan, dan pekerjaan.
Baca Juga:
Diprediksi, 4 Wajah Baru Mengisi Kursi DPRD dari Dapil 2 Tapteng
Para ilmuwan mengubah kumpulan data menjadi kata-kata untuk melatih model bahasa besar yang dijuluki “life2vec” yang mirip dengan teknologi di balik ChatGPT.
Setelah model AI mempelajari pola dalam data, model tersebut kemudian dapat memprediksi hasil seperti kepribadian dan waktu kematian dengan akurasi tinggi.
Secara lebih rinci dari data yang digunakan, para peneliti mengambil data dari penduduk dengan rentang usia 35-65 tahun.
Setengah dari data tersebut berasal dari individu yang telah tutup usia di periode 2016-2020, dan para peneliti meminta sistem AI untuk memprediksi siapa yang hidup dan siapa yang meninggal.
Dalam temuannya, para peneliti menyebut prediksi AI itu ternyata 11 persen lebih akurat dibandingkan model AI lain yang ada atau metode yang biasanya digunakan oleh perusahaan asuransi jiwa untuk menentukan harga polis.
“Yang menarik adalah melihat kehidupan manusia sebagai rangkaian peristiwa yang panjang, mirip dengan kalimat dalam suatu bahasa yang terdiri dari serangkaian kata,” kata pemimpin peneliti dari DTU Sune Lehman.
Dengan menggunakan model tersebut, maka jawaban atas pertanyaan umum seperti kemungkinan seseorang meninggal dapat ditemukan.
Para peneliti menemukan bahwa respons AI tersebut konsisten dengan temuan yang ada ketika semua faktor lain dipertimbangkan.
Misalnya seperti individu yang berada dalam posisi kepemimpinan atau berpenghasilan tinggi lebih mungkin untuk bertahan hidup.
Contoh lainnya individu yang memiliki diagnosis mental erat dikaitkan dengan risiko kematian yang lebih tinggi.
“Secara ilmiah, yang menarik bagi kami bukanlah prediksi itu sendiri, namun aspek data yang memungkinkan model memberikan jawaban yang tepat,” katanya.
Model AI itu juga disebut dapat secara akurat memprediksi hasil tes kepribadian pada suatu bagian populasi dengan lebih baik daripada sistem AI yang ada.
“Kerangka kerja kami memungkinkan para peneliti untuk mengidentifikasi mekanisme potensial baru yang berdampak pada hasil kehidupan dan kemungkinan terkait untuk intervensi yang dipersonalisasi,” tulis para peneliti dalam penelitian tersebut.
Namun, para ilmuwan memperingatkan bahwa model tersebut tidak boleh digunakan oleh perusahaan asuransi jiwa karena alasan etika.
Para peneliti juga memperingatkan bahwa ada masalah etika lain seputar penggunaan teknologi "life2vec" seperti perlindungan data sensitif, privasi, dan peran bias dalam data.
“Kami menekankan bahwa pekerjaan kami adalah eksplorasi terhadap apa yang mungkin dilakukan, namun hanya boleh digunakan dalam penerapan dunia nyata berdasarkan peraturan yang melindungi hak-hak individu,” tandas mereka.
[Redaktur: Sandy]