WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kejutan besar datang dari dunia teknologi finansial, ketika Klarna, sebuah perusahaan asal Swedia, akhirnya mengaku kebablasan mengganti ribuan karyawan dengan kecerdasan buatan dan kini kembali membuka lowongan kerja untuk merekrut pegawai baru.
Pada 2024 lalu, Klarna memutuskan memangkas sekitar 1.200 karyawan yang kemudian diganti dengan AI demi memangkas biaya operasional, meningkatkan efisiensi, dan mempercepat pengambilan keputusan.
Baca Juga:
Manfaatkan AI Secara Positif, FKIP UNJA Dorong Inovasi Penelitian Mahasiswa dan Dosen
Namun, keputusan itu diakui CEO Klarna Sebastian Siemiatkowski sebagai langkah berlebihan yang justru merugikan perusahaan dalam jangka panjang.
Dalam praktiknya, pemangkasan karyawan membuat jumlah tenaga kerja Klarna turun menjadi 3.800 orang dari sebelumnya 5.000 orang, termasuk pemutusan kerja sama dengan vendor besar seperti Salesforce demi beralih ke AI untuk kampanye pemasaran.
Senin (15/9/2025), Siemiatkowski mengungkapkan bahwa dalam enam bulan terakhir, perusahaan mencoba memperbaiki kesalahan dengan kembali membuka dua lusin lebih lowongan kerja.
Baca Juga:
Masyarakat Kini Bisa Cek Berita Hoaks Lewat WA, Ini Caranya
Klarna sempat mengandalkan chatbot AI untuk melayani pelanggan, menggantikan sekitar 700 karyawan dengan rata-rata waktu penyelesaian hanya dua menit dibanding sebelumnya 11 menit.
Tidak hanya itu, pada Mei 2025 Klarna juga menghadirkan avatar AI berbasis suara dan wawasan Siemiatkowski untuk menyampaikan pendapatan kuartalan perusahaan serta melayani pelanggan melalui hotline.
Meski langkah itu menghemat biaya hingga sekitar dua juta dolar AS atau setara Rp 32,7 miliar, AI ternyata tidak mampu mendongkrak produktivitas maupun kualitas produk sesuai harapan investor.
"Investor saya tidak akan senang begitu saja, mereka akan mengharapkan pertumbuhan dan melihat apa yang kami tawarkan ke pelanggan serta bagaimana kinerjanya," ujar Siemiatkowski.
Ia menegaskan, arah perusahaan ke depan adalah menyeimbangkan penggunaan AI dengan tenaga manusia, fokus pada produktivitas, serta meningkatkan kualitas layanan dan produk.
Di sisi lain, fenomena serupa juga terjadi pada raksasa teknologi global Salesforce yang pada awal September 2025 melakukan PHK terhadap 4.000 karyawan di divisi layanan pelanggan.
CEO Salesforce Marc Benioff menjelaskan bahwa jumlah staf dukungan pelanggan berkurang hampir 50 persen, dari 9.000 menjadi sekitar 5.000 orang, karena posisi mereka digantikan oleh teknologi AI.
Benioff menyebut program agentic AI kini mengambil alih sebagian besar interaksi dengan pelanggan, bahkan mampu menghubungi lebih dari 100 juta prospek penjualan yang sebelumnya tak tersentuh selama 26 tahun terakhir.
Menurutnya, agentic AI bekerja secara otonom dengan memecah masalah besar ke dalam tugas-tugas kecil sehingga lebih cepat dan efisien dibandingkan manusia.
Meski begitu, Salesforce tetap mempertahankan kombinasi tenaga manusia dan AI dalam sistem "omni channel supervisor" agar kolaborasi keduanya bisa berjalan seimbang.
Benioff menambahkan, skor kepuasan pelanggan dari interaksi AI maupun manusia nyaris sama, sekaligus menegaskan bahwa setiap perusahaan kini tengah bergerak menuju agentic enterprise.
Namun, ia juga mengritik keras perusahaan-perusahaan yang enggan merekrut fresh graduate, padahal talenta muda dengan keterampilan mengoperasikan AI seharusnya menjadi kandidat potensial untuk mendukung transformasi digital.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]