WahanaNews.co | Keterbatasan ekonomi tak
menyurutkan semangat belajar enam anak warga negara Indonesia (WNI) di Pulau
Sebatik, Malaysia, untuk terus bersekolah.
Tidak
pernah ada keluhan atau minder meski mereka harus berjalan kaki sejak subuh
untuk menuju ke sekolah di SDN 003 Sebatik Barat, Kabupaten Nunukan, Kalimantan
Utara.
Baca Juga:
Klarce Jelaskan Makna dari HUT ke 15 Tahun KNPB
Mereka
tinggal di Malaysia, karena ikut orangtuanya bekerja.
Pulau
Sebatik, yang merupakan perbatasan RI-Malaysia, memang terbagi dua dan sebagian
milik Malaysia.
Mereka
tidak mengenal sekolah daring, yang mereka tahu adalah datang ke sekolah,
bertemu guru dan belajar ilmu pengetahuan, meski durasinya dibatasi akibat
kebijakan di masa pandemi Covid-19.
Baca Juga:
Tiga Desa Perbatasan RI-Malaysia Kini Dilayani Listrik PLN 24 Jam
"Orangtua mereka bekerja menombak kelapa sawit di Malaysia.
Mereka tidak punya HP Android, hanya ada HP untuk sekadar telepon dan SMS. Tapi
mereka semangat bersekolah meski banyak kendala dan aturan yang harus dijalani
akibat adanya virus Corona," ujar Kepala Sekolah SDN 003 Sebatik Barat, Wahid, Selasa (6/4/2021).
Wahid, yang
prihatin atas kondisi enam bocah tersebut, akhirnya membolehkan mereka
belajar tatap muka.
Ia juga
mengakui, pembelajaran tersebut bahkan sudah berlangsung cukup lama.
Wahid
mengaku sangat terharu atas semangat mereka untuk tetap sekolah.
Waktu
tempuh antara sekolah dan rumah mereka yang berada di tengah perkebunan sawit
sekitar 30 menit perjalanan menggunakan sepeda motor.
Pihak
sekolah pun membuat jadwal untuk mengajar mereka secara bergantian setiap
harinya, kecuali hari libur.
Ada
sejumlah pertimbangan yang mendasari Wahid memberi perlakuan khusus bagi enam
anak Pekerja Migran Indonesia (PMI) tersebut.
"Untuk
daring, tentunya tidak bisa, karena mereka tidak punya HP Android. Seandainya punya,
kendala sinyal perbatasan yang tidak stabil menjadi masalah tersendiri," jelasnya.
Selain
itu, anak anak tersebut bahkan rela menumpang di rumah penduduk demi bisa
bersekolah.
"Kami dari pihak sekolah berinisiatif menitipkan mereka ke
rumah penduduk. Supaya mereka tidak keluar masuk perbatasan, bisa kena tangkap
aparat Malaysia nanti," kata Wahid lagi.
Memang, sejak
kebijakan lockdown berlaku, enam anak
tersebut tidak bisa keluar-masuk perbatasan seperti sebelumnya.
Banyak
aparat menjaga jalur perbatasan, dan jika mereka nekat melintas tanpa dokumen keimigrasian,
bisa berimbas pada tuduhan pelanggaran hukum.
Meski
mengakomodasi keinginan enam anak WNI tersebut, Wahid memastikan bahwa pihak
sekolah tetap menaati protokol kesehatan.
Anak-anak
dites suhu tubuhnya, tetap diwajibkan menjaga jarak, menggunakan masker, serta
mencuci tangan dengan sabun setiap selesai beraktivitas.
"Tekad mereka yang harus kita jaga, jangan sampai semangat
mereka dibalas penolakan mengajar dengan alasan Covid-19," kata
Wahid.
Tanggapan Disdik Nunukan
Kepala
Bidang Pendidikan Dasar (Dikdas) pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten
Nunukan, Widodo, mengaku tidak ada laporan masuk terkait permasalahan
tersebut di atas.
Namun
demikian, ia tidak menampik bahwa persoalan tersebut bersifat kasuistik dan
perlakuannya dikembalikan pada kebijakan sekolah masing masing.
"Itu sifatnya kasuistik, memang kita mengakui banyak anak-anak
WNI tinggal bertetangga di satu pulau tapi dipisahkan batas Negara. Intinya
tergantung inovasi kepala sekolah masing masing," katanya.
Widodo
juga memberikan apresiasi terhadap langkah Kepsek SDN 003 Sebatik Barat, yang
memberikan perlakuan layak dan bijaksana.
Tidak
ada yang perlu dipermasalahkan meski mereka belajar tatap muka di masa pandemi,
di saat kebijakan sekolah di Kabupaten Nunukan belum membolehkan melakukan
metoda dimaksud.
"Justru itu inovasi yang bagus, sebagai seorang guru beliau
(Wahid) melakukan kewajibannya. Jadi semua memang tergantung inovasi sekolah
masing masing, dan tentunya harus mematuhi prokes," katanya.
Widodo
melanjutkan, Kabupaten Nunukan sudah membolehkan pembelajaran tatap muka
terbatas.
Akan
tetapi, hal tersebut menimbang wilayah dengan moda lalu lintas yang jarang,
bukan tempat keluar-masuk orang dan barang secara masif.
Sejauh
ini, baru ada 10 kecamatan yang diperbolehkan melakukan pembelajaran tatap muka
dari 21 kecamatan yang ada.
Masing-masing
5 kecamatan di dataran tinggi Krayan, 4 kecamatan di Lumbis, dan Kecamatan
Sembakung Atulai.
"Pembolehan belajar tatap muka per 4 April (2021), tapi
sifatnya terbatas dan kembali ke kebijakan sekolah masing masing," kata
Widodo. [qnt]