WahanaNews.co | Iklim yang memanas telah merangsang pertumbuhan tanaman berbunga lebih cepat dan masif di Antartika. Dampak perubahan iklim ini menjadi berita buruk, karena kabar itu mewakili titik kritis bagi ekosistem yang berubah di kawasan tersebut.
Sebelumnya, ilmuwan telah mengamati peningkatan pertumbuhan tanaman berbunga akibat perubahan iklim di belahan Bumi utara, tetapi temuan terbaru merupakan pertama yang tercatat di Antartika selatan.
Baca Juga:
Upaya Pemerintah Kabupaten Barito Utara dalam Penanganan Inflasi Pangan
Mengutip New Scientist, Selasa (15/2/2022) dalam studi yang dipublikasikan di Current Biology ini, Nicoletta Cannone dari University of Insubria, Italia bersama rekan-rekannya mengukur pertumbuhan dua tanaman berbunga asli Antartika.
Kedua tanaman itu adalah Deschampsia antarctica dan Colobanthus quitensis. Peneliti melakukan pengukuran tanaman di sejumlah lokasi di Signy Island sepanjang tahun 2009 hingga 2019.
Peneliti kemudian membandingkan pengamatan mereka dengan survei dari 50 tahun sebelumnya. Mereka menemukan Signy Island lebih padat oleh tanaman.
Baca Juga:
Lima Cara Tepat Gunakan Micin Sebagai Pupuk Tanaman
Tak hanya itu saja, akibat perubahan iklim ini, tanaman berbunga di Antartika seperti Deschampsia antarctica dan Colobanthus quitensis juga tumbuh lebih cepat setiap tahun saat iklim menghangat.
Deschampsia antarctica tumbuh lebih banyak dalam periode 10 tahun sementara Colobanthus quitensis tumbuh lima kali lebih banyak selama periode yang sama.
"Pertumbuhan tampaknya semakin cepat dan jelas terlihat di wilayah tersebut," ungkap Peter Convey dari British Antartic Survey.
Penelitian ini pun memberikan kumpulan data komprehensif pertama yang menunjukkan seberapa cepat dan seberapa padat tumbuhan dapat berkembang.
Faktor-faktor dapat memengaruhi pertumbuhan tanaman seperti misalnya penurunan populasi anjing laut, tetapi iklim yang memanas punya kaitan yang jelas dengan pertumbuhan tanaman ini.
Peningkatan suhu memungkinkan pula spesies invasif untuk menjajah dan tumbuh lebih besar dari tanaman asli. Hal tersebut dapat mengacaukan ekosistem lokal dan keanekaragaman hayati.
"Jika kami memperkirakan apa yang kami amati di Pulau Signy dan situs lain di Antartika, proses serupa juga dapat terjadi. Ini berarti lanskap Antartika dan keanekaragaman hayati dapat berubah dengan cepat," ungkap Cannone.
Tak hanya mengancam lanskap saja, perubahan iklim juga berdampak pada perubahan dramatis pada gletser di Antartika.
Sebelumnya, Glester Thwaites yang merupakan gletser terbesar Antartika mulai meleleh dengan cepat dan berpotensi pecah dalam waktu lima hingga 10 tahun ke depan.
Akibat dampak perubahan iklim ini, para ilmuwan khawatir lelehan gletser tersebut dapat berpotensi menaikkan permukaan laut hingga 65 cm. Peneliti pun hingga kini terus memantau secara intens perkembangan gletser tersebut. [qnt]