WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ketimpangan ekonomi tak hanya menciptakan jurang sosial, tetapi kini terbukti berdampak langsung pada krisis lingkungan global.
Sebuah studi ilmiah terkini menyajikan data mencengangkan: segelintir elite dunia bukan hanya mengendalikan kekayaan, tetapi juga memegang peranan besar dalam memperburuk krisis iklim.
Baca Juga:
Bertarung Melawan Perubahan Iklim Global, ALPERKLINAS Puji Kerjasama Indonesia dan Inggris dalam Pengembangan Energi Bersih
Di tengah upaya kolektif menekan emisi karbon, justru gaya hidup dan investasi kalangan superkaya menjadi penyumbang utama pemanasan global.
Sebuah riset terbaru mengungkapkan bahwa sebanyak 10 persen populasi terkaya di dunia bertanggung jawab atas dua pertiga total pemanasan global yang terjadi sejak tahun 1990.
Temuan yang dirilis pada Rabu (7/5/2025), ini menyoroti peran signifikan konsumsi mewah dan investasi para miliarder dalam memperparah perubahan iklim.
Baca Juga:
Hari Bumi ke-55: Seruan Global untuk Energi Bersih dan Aksi Iklim
Penelitian tersebut dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Nature Climate Change dan merupakan kajian pertama yang mengukur secara eksplisit kontribusi kekayaan pribadi terhadap meningkatnya kejadian iklim ekstrem seperti kekeringan panjang dan gelombang panas mematikan.
"Kami secara langsung menghubungkan jejak karbon individu-individu superkaya dengan dampak iklim yang nyata dan terukur," ujar Sarah Schoengart, peneliti utama dari ETH Zurich, dalam pernyataannya kepada AFP.
Ia menambahkan bahwa pendekatan ini merupakan langkah maju dari sekadar menghitung emisi menuju penegakan tanggung jawab atas krisis iklim yang ditimbulkan. "Ini bukan hanya soal angka, tetapi soal akuntabilitas," tegasnya.
Secara lebih spesifik, satu persen populasi dengan kekayaan tertinggi di dunia tercatat menyumbang kontribusi 26 kali lebih besar terhadap peningkatan kejadian gelombang panas yang dulunya hanya terjadi satu kali dalam seratus tahun.
Tak hanya itu, mereka juga bertanggung jawab 17 kali lebih besar dalam memperparah kekeringan, termasuk di kawasan sensitif seperti hutan hujan Amazon.
Khususnya, kelompok 10 persen orang terkaya di dua negara penyumbang emisi terbesar dunia, Tiongkok dan Amerika Serikat, berkontribusi pada peningkatan intensitas suhu ekstrem dua hingga tiga kali lipat dibandingkan rata-rata global.
Selama tiga dekade terakhir, pemanasan global telah mengalami lonjakan signifikan dengan peningkatan suhu rata-rata sebesar 1,3 derajat Celsius. Kenaikan ini disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil dan praktik deforestasi yang tak terkendali.
Untuk memperkuat kesimpulan studi, tim peneliti memadukan data ekonomi global dengan pemodelan iklim. Pendekatan ini memungkinkan mereka melacak emisi karbon berdasarkan tingkat pendapatan, mencakup bukan hanya konsumsi langsung, tetapi juga emisi yang dihasilkan dari investasi finansial.
Carl-Friedrich Schleussner, penulis senior sekaligus Kepala Penelitian Dampak Iklim Terpadu di Institut Internasional untuk Analisis Sistem Terapan (IIASA), menegaskan bahwa kebijakan iklim akan gagal jika tidak diarahkan pada akuntabilitas kelompok berpendapatan tertinggi.
Menurutnya, kelompok inilah yang menjadi sumber utama kerusakan lingkungan di masa depan.
Para ilmuwan dalam studi ini juga menyerukan penerapan pajak progresif terhadap kekayaan dan investasi yang memiliki intensitas emisi tinggi.
Mereka menyebutkan bahwa mekanisme pajak berbasis aset jauh lebih adil dibandingkan dengan pajak karbon yang umum diberlakukan, karena pajak karbon justru cenderung menambah beban kelompok miskin.
Meski begitu, upaya global untuk mengenakan pajak terhadap orang-orang superkaya dan korporasi raksasa masih menemui jalan terjal.
Sebagai contoh, Brasil pernah mengajukan usulan untuk mengenakan pajak sebesar dua persen atas kekayaan bersih individu bernilai di atas US$1 miliar saat menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 tahun lalu.
Kendati proposal tersebut mendapat persetujuan secara prinsip, pelaksanaannya hingga kini masih mandek di tingkat kebijakan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]