WahanaNews.co | Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami Lesti Kejora baru-baru ini mengejutkan publik di Indonesia.
Rumah tangga Lesti Kejora dan Rizky Billar yang selama ini dikenal harmonis harus tersandung kasus KDRT.
Siapa sangka, sang biduan melaporkan suaminya, Rizky Billar, atas dugaan KDRT ke Polres Metro Jakarta Selatan pada Rabu (28/9/2022) malam.
Baca Juga:
Anda Sulit Mengontrol Emosi? Sains Ungkap Rahasianya
Pasangan muda ini menambah daftar panjang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terjadi di kalangan artis dan selebritis.
Lesti Kejora kini harus dirawat di Rumah Sakit akibat mengalami cedera. Dia disebut dicekik dan dibanting Rizky Billar.
Kini publik mengecam tindakan Rizky Billar ini.
Baca Juga:
4 Zodiak Ini Terlalu Melibatkan Perasaan Saat Ambil Keputusan
Mengapa seseorang bisa terdorong menyakiti orang lain atau pasangan hidupnya?
Ini adalah respon otomatis seseorang yang menimbun beban emosi di benak bawah sadarnya dalam waktu sangat lama, ungkap Mind Technology Expert (Pakar Teknologi Pikiran) Coach Rheo, Sabtu (1/10/2022).
Timbunan beban emosi tersebut, lanjut Coach Rheo, menciptakan reaksi reaktif yang diproses oleh bagian dari amygdala pada otak. Istilah ini sering disebut Amygdala Hijack.
Coach Rheo memberi analogi. Seperti orang yang tengah mabuk beban emosi mengambil alih kesadarannya. Memengaruhi peranan otak neocortex (pusat pikiran rasional).
“Sehingga sering digambarkan seperti gelap mata. Sejenak seperti bukan kita. Itulah saat beban emosi menghampiri kita, dan mengambil alih semuanya,” ujarnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kata Coach Rheo, hal ini banyak terjadi. “Misalnya ketika melihat plang diskon langsung tergerak untuk belanja.”
“Atau menghadapi anak nakal langsung mau marah. Atau respon sederhana tersinggung ketika ada orang mengambil jalur di saat sedang berkendara.”
Faktor ini menurut Coach Rheo, penyebabnya sangat banyak.
“Di satu sisi kita begitu menyayangi dan mencintai anak, tapi di saat yang lain dapat marah meledak.”
“Marah meledak kita seakan lupa semua cinta itu. Kita seperti menjadi Hulk yang hijau, besar mengamuk. Tapi setelahnya kembali tersadar. Akhirnya menyesali perbuatan kita,” sebutnya.
Apa faktor penyebabnya? Menurut Coach Rheo sangat bervariasi. Tergantung pengalaman di masa lalu yang membentuk model dunia internal dalam pikiran.
Semisal, sejak kecil kerap diberi pemahaman jika laki-laki harus dihormati. Laki-laki adalah kepala keluarga. Laki-laki tidak boleh direndahkan, dan lain sebagaimya.
Ini menjadi pesan dan nasehat turun-temurun. Ditanamkan dari lingkungan dan disetujui sebagai kebenaran massal di banyak kebudayaan, paparnya.
Maka ketika hal tersebut disinggung sering menimbulkan ledakan respon luar biasa, dan tidak terkendali. Makna internal bawah sadar inilah yang sebenarnya menjadi beban dalam diri kita.
Kita tidak memahami bagaimana sesungguhnya beban ini bekerja dalam diri kita. Kita seringkali kecolongan ketika terpicu oleh peristiwa di sekeliling kita, ungkap motivator yang mendapat pengakuan sebagai Trainer, dan NLP Meta Master Practitioner of Neurosemantics, (International Institute of Neurosemantic, North Carolina USA) ini.
Coach Rheo mengungkapkan, Rizky mungkin pria baik yang mengasihi istrinya. Namun mungkin juga ada perilaku tertentu yang baginya tidak bisa ditolerir. Mungkin karena hal itu bersifat prinsip dalam hidupnya. Dan ketika hal ini terpicu maka menimbulkan perselisihan yang signifikan, ujar Coach Rheo.
Timbunan beban emosi memang menjadi tema besar dalam kehidupan berumah tangga. Beban ini menjadi amunisi bawah sadar siap ditembakkan ketika ada kesempatan yang datang menghampiri.
Apalagi jika ditambah dengan kenyataan yang tak diharapkan. Hal ini menjadi beban tersendiri. Akhirnya membuat emosi kita meledak tidak terkendali, kata Coah Rheo.
Seperti juga kasus yang bisa kita lihat ketika Wendy Walters menyampaikan keluh kesahnya terkait kreator konten Reza Arap di sosial media. Beban emosi bawah sadar kerap menciptakan suasana tidak nyaman dalam rumah tangga.
Bisa menyebabkan perceraian psikologis; serumah tapi saling abai. Akhirnya menciptakan keretakan rumah tangga. Hal ini kerap membuka celah bagi pihak ketiga masuk dalam rumah tangga seseorang, ujar Coach Rheo.
Untuk itu Coach Rheo mengingatkan tentang pentingnya membuang beban emosi secara tuntas. Apalagi jika sudah ada indikasi beban emosi tidak terkendali. Mulai ada letupan-letupan kecil.
“Jangan terus dikendalikan. Tapi harus tahu cara membuangnya dari sistem syaraf kita, ujar pakar yang telah melewati puluhan ribu jam praktek dan belajar di bidang teknologi pikiran, serta meraih puluhan sertifikasi, dan ratusan training lainnya di bidang pengembangan diri.”
Lapisan emosi tersebut, kata Coach Rheo, tidak terlihat begitu saja dipermukaan. Salah satu clientnya sempat menceritakan kepadanya bahwa dia kerap marah meledak-ledak dalam kesehariannya.
Ternyata hal ini disebabkan dari diri sendiri, yang menyalahkan karena ibunya meninggal akibat kelalaiannya di masa lalu. Sehingga seluruh beban penyesalan tertanam yang membuatnya kerap meledak-ledak di keseharian hidupnya, cerita Coach Rheo.
Pada masalah lain seorang client marah meledak-ledak dan memukuli anaknya kemudian menyesal setelahnya. Namun hal itu terus berulang sepanjang waktu. Ia tidak punya kendali atas dirinya.
“Ternyata itu timbunan emosi pengalaman masa kecil akibat perselingkuhan orangtuanya. Dimana ia dipaksa memanggil bunda kepada wanita lain yang ayahnya bawa ke rumah. Ia sangat membenci ayahnya. Kebencian pada ayahnya ia luapkan kemana-mana,” ungkap Coach Rheo.
Berbagai trauma seperti ini, kata Coach Rheo, jika tidak diselesaikan bisa menciptakan ledakan bersifat neurotic; otomatis, tanpa dipikirkan, dan tak terkendali.
“Semua seolah alamiah. Sudah karakter. Padahal ini adalah timbunan beban emosi yang bisa dibuang,” paparnya. [qnt]