WahanaNews.co | Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, mengatakan, aspirasi pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua atau pemekaran wilayah akan dipertimbangan untuk menjadi prioritas pembahasan dalam satu sampai dua tahun ke depan.
Namun, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, hal itu terlalu tergesa-gesa jika dilakukan tanpa menyelesaikan akar masalah yang ada di Papua.
Baca Juga:
John Wempi Wetipo Tegaskan Komitmen Kemendagri Kawal Percepatan Pembangunan di Wilayah Papua
Adriana Elisabeth, peneliti LIPI, mengatakan, situasi konflik yang masih terjadi di Papua akan menyulitkan rencana pemekaran wilayah atau DOB, meski pemerintah sudah membuat Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
"Ada unsur ketergesaan di sini. Yang diperhatikan pemerintah itu hanya pembangunan. Pembangunan itu bukan satu-satunya masalah. Ada masalah lain yang saling berkait, itu yang tidak pernah direspons secara terbuka," kata Adriana.
Sementara itu, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib, meminta pemerintah untuk memperbaiki regulasi sebelum melakukan pemekaran wilayah.
Baca Juga:
Percepatan Pembangunan di Provinsi Papua Tengah, Wamendagri Mengajak Masyarakat Saling Menjaga Keamanan
"Atur dulu tentang politik konstitusional orang asli Papua, seperti pembentukan partai lokal dulu, pengelolaan sumber daya alamnya diatur dulu, pendidikannya juga diatur dulu, kesehatan, masalah ekonomi," kata Timotius.
Apa Kata Orang Papua?
Menko Polhukam, Mahfud MD, mengatakan, keputusan untuk membentuk DOB Papua berasal dari aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Ide pemekaran pun diawali dengan kedatangan 61 orang Papua yang diundang Presiden Joko Widodo ke Istana Negara pada September 2019 lalu.
Ada beberapa aspirasi pemekaran di Papua dan Papua Barat, antara lain Provinsi Papua Tabi Saireri, Provinsi Pegunungan Tengah, Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Barat, serta Provinsi Papua Barat Daya.
Saleh Sangadji, salah satu warga yang diundang, mengatakan, pemekaran wilayah bisa memberikan kesempatan untuk putra-putri asli Papua menduduki posisi-posisi di pemerintahan dan menekan angka pengangguran di wilayah itu.
Dia juga yakin, pemekaran wilayah bisa meningkatkan ekonomi, kualitas pendidikan, dan pelayanan kesehatan masyarakat.
Dalam kesempatan lain, seorang tokoh agama di Jayapura, Joop Suebu, juga setuju dengan rencana pemekaran DOB Papua.
Dia percaya, pemekaran wilayah bisa membuat Papua lebih maju karena bisa memperpendek rentang kendali pelayanan pemerintah.
"Melalui pemekaranlah wajah Papua pasti akan cepat dibangun dan pasti ada perubahan-perubahan ke arah kemajuan-kemajuan yang lebih baik. Papua pasti berubah, Papua pasti akan maju dengan percepatan pembangunan," kata Joop, saat diwawancarai BBC Indonesia, Rabu (1/12/2021).
Menurut Joop, masalah yang terjadi di Papua bermula dari kesenjangan sosial sejak zaman Presiden Soeharto.
Selama lebih dari 32 tahun Papua ditinggalkan, dianaktirikan, dan ditelantarkan, kata dia.
"Papua tertinggal, Papua tidak pernah dibangun oleh Indonesia. Akhirnya terjadi konflik, kecemburuan sosial, terjadi banyak persoalan," lanjutnya.
Di sisi lain, ada juga warga Papua yang menentang pemekaran wilayah ini.
Benhur Wally, seorang tokoh masyarakat adat, mengatakan, keputusan soal pemekaran DOB ini dilakukan secara tidak transparan.
Hal itu, kata dia, bisa memicu konflik lainnya, terutama yang berkaitan dengan masyarakat adat.
Papua memiliki tujuh wilayah adat.
Menurut Benhur, kalau pembagian wilayah itu tidak dilakukan secara jelas dan transparan, akan terjadi kesalahpahaman di masyarakat yang berujung pada konflik horisontal.
"Pihak akademisi dan pemerintah dalam panitia pemekaran ini sama sekali tidak ada transparansi dengan masyarakat adat dan itu akan terjadi. Kalau sudah terjadi maka orang akan bertahan di wilayahnya masing-masing dan saya pikir segala sesuatu akan berujung pada demo dan orang-orang akan ribut," kata Benhur.
MRP juga menentang pemekaran wilayah yang diamanatkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2021, yang baru disahkah pada Juli lalu.
Ketua MRP, Timotius Murib, mengatakan, pemekaran wilayah terlalu dipaksakan, meskipun sebenarnya baik untuk dilakukan.
Kata dia, perlu ada evaluasi secara menyeluruh terhadap penerapan otsus selama 20 tahun terakhir, yang diatur dalam undang-undang sebelumnya, yaitu UU Nomor 21 Tahun 2001.
"Dulu kan kami minta merdeka, bukan otonomi khusus. Lepas saja lebih baik, ngapain kita sama-sama terus kita menderita? Tetapi kemudian pemerintah pusat memberikan otonomi khusus untuk solusi, jalan tengah untuk memperbaiki nasib rakyat Papua," kata Timotius.
"Tapi dalam perjalanan pemerintah pusat tidak secara konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan undang-undang otonomi khusus (UU Nomor 21 Tahun 2001) dengan baik. Dari 26 janji hanya 4 saja yang jalan," jelasnya.
Empat kewenangan itu adalah Gubernur dan wakil gubernur adalah orang asli Papua, ada Majelis Rakyat Papua, ada kursi pengangkatan orang asli Papua di DPRP, dan dana otonomi khusus.
"Hukum kita, infrastruktur hukum kita di Papua itu sangat buruk. Kemudian Jakarta memaksakan untuk pemekaran. Saya pikir pemekaran itu akan menghadirkan persoalan baru, penyakit baru," ujar Timotius.
Dia menduga, pemekaran wilayah di Papua dilakukan untuk memudahkan investor masuk untuk mengelola sumber daya alam Papua yang keuntungannya bakal diambil oleh pemerintah pusat, bukan untuk membangun manusia Papua.
"Pemekaran ini hanya untuk memenuhi cita-cita pemerintah pusat untuk melunasi utang mereka. Utang ini kan hanya bisa dibayar dengan sumber daya alam di Papua," tandasnya.
Apakah Bisa Menyelesaikan Masalah di Papua?
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Gusnardi Gaus, yang juga anggota Panitia Khusus (Pansus) Otonomi Khusus (Otsus) Papua, mengatakan, UU Nomor 2 Tahun 2021 dibuat pemerintah untuk melakukan percepatan pembangunan di berbagai sektor di Papua, seperti di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, infrastruktur dan lain sebagainya.
"Tujuan pasti dari undang-undang ini dalam rangka kesejahteraan, dalam rangka percepatan pembangunan karena kita ingin masyarakat Papua berlari sama dengan sahabat-sahabatnya di provinsi lain di NKRI ini," kata Guspardi.
Menurut pemerintah, masalah gangguan keamanan yang terjadi di Papua selama ini bersumber dari masalah ekonomi dan masalah kemiskinan, sehingga pemekaran menjadi salah satu upaya untuk mempercepat pembangunan dan mempermudah birokrasi.
Namun, peneliti LIPI, Adriana Elisabeth, tidak sepakat dengan hal itu.
Hasil penelitian LIPI menemukan, ada empat akar masalah utama yang menjadi permasalahan di Papua, yaitu soal marjinalisasi dan diskriminasi, pelanggaran hak asasi manusia, kegagalan pembangunan, dan perdebatan soal sejarah politik.
"Itu (percepatan pembangunan) bisa dilakukan kalau masyarakat sudah berdaya, mereka bisa memanfaatkan infrastruktur, bisa mengembangkan potensinya, mereka bisa terlibat dalam kegiatan ekonomi, jadi SDM-nya sudah berkualitas. Kenyataannya kan tidak seperti itu. Belum semua seperti itu," ujar Adriana.
Menurut dia, niat pemerintah untuk melakukan pemekaran wilayah demi percepatan pembangunan ideal untuk dilakukan jika kondisi di Papua normal.
"Ini konflik nih. Ada juga wilayah yang masyarakatnya yang belum dibangun secara maksimal. Bagaimana mereka mau menikmati itu?" katanya.
Namun, jika pemerintah tetap berkukuh melakukan pemekaran wilayah meski ada penolakan, Adriana menyarankan pemerintah segera melakukan sosialisasi.
"Perlu dijelaskan kepada elemen-elemen di Papua, masyarakat di Papua, kenapa prosesnya seperti ini, kenapa hasilnya seperti ini, dan lebih banyak mendengar masukan-masukan ataupun protes masyarakat di Papua,” paparnya.
Kata dia, meskipun sebuah undang-undang dirancang dengan baik dan memiliki desain yang bagus, kalau prosesnya tidak melibatkan partisipasi publik secara luas, hal itu sudah pasti akan menimbulkan persoalan baru.
Dalam pembahasan UU Nomor 2 Tahun 2021, yang mengubah UU Nomor 21 Tahun 2001, MRP mengaku tidak dilibatkan.
Padahal, kata Timotius, perubahan itu seharusnya berdasarkan usul dari rakyat Papua, sesuai Pasal 77.
Namun, DPR mengatakan sudah melibatkan orang-orang asli Papua dan menampung aspirasinya.
Pada September lalu, MRP juga mengajukan permohonan uji materil terhadap UU Nomor 2 Tahun 2011 ke Mahkamah Konstitusi.
Mereka memohon pengujian beberapa pasal yang dinilai melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua. [dhn]