WahanaNews.co | Ketua MPR RI Bambang Soesatyo sepakat dengan pernyataan Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri saat Peluncuran 58 Judul Buku dalam Rangka Hari Jadi Ke-58 Lemhannas, Sabtu (21/5/2023).
Megawati menggagas agar posisi MPR dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara.
Baca Juga:
Pesta Demokrasi Pemilu Usai, Puan Mahari: Semangat Presiden Prabowo Harus Kita Dukung Bersama
Megawati ingin agar Indonesia kembali memiliki sistem ketatanegaraan yang benar, sebagaimana yang telah dicanangkan para pendiri bangsa dalam UUD 1945 pasca Indonesia merdeka.
Menurutnya, sejak amandemen keempat UUD 1945, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara yang menjalankan kedaulatan rakyat. Namun MPR menjadi lembaga tinggi negara yang sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya.
"Saya sepakat dengan apa yang disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia Ibu Megawati Soekarnoputri dalam sambutan tadi yang menyatakan posisi MPR dikembalikan sebagai lembaga tertinggi negara," kata Bamsoet dalam keterangannya, Minggu (21/5/2023).
Baca Juga:
Dalam Sesi Doa, MUI Harap Presiden Prabowo Bangun Demokrasi dan Berantas Korupsi
"Ibu Megawati mengaku sempat tidak terima saat MPR disamakan kedudukannya dengan DPR dan DPD. Menurut Ibu Megawati seharusnya MPR tetap setingkat lebih tinggi kedudukannya dibanding lembaga tinggi lainnya," sambungnya.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menuturkan gagasan yang disampaikan tentang urgensi penguatan aspek ketatanegaraan semakin jelas relevansinya. Mengingat saat ini negara juga terus menghadapi tantangan dan ancaman ideologi yang dapat menggoyahkan fondasi keutuhan NKRI dan Pancasila.
Ia menyebut MPR sangat relevan diberikan amanat melaksanakan kedaulatan rakyat sepenuhnya seperti dalam UUD 1945. Pasalnya MPR merupakan lembaga tinggi negara yang berwenang mengubah UUD Negara 1945, serta mengangkat dan memberhentikan presiden/wakil presiden.
Atas nama kedaulatan rakyat pula, lanjutnya, MPR pun dianggap berwenang untuk kembali menerbitkan Ketetapan (Tap) MPR yang mengikat (regeling). Terutama kebutuhan akan Tap MPR untuk merespons dan menangani krisis politik atau krisis konstitusi.
"MPR pasca amandemen UUD NRI 1945 tidak bisa lagi membuat ketetapan-ketetapan yang mengikat atau regeling. Bahkan, pada momentum pelantikan presiden dan wakil presiden sekali pun, MPR tidak lagi memiliki kewajiban membuat ketetapan tentang pelantikan itu. Melainkan hanya mengeluarkan berita acara pelantikan," jelasnya.
Lebih lanjut, Bamsoet menjelaskan minimnya peran dan fungsi MPR pada aspek hukum ketatanegaraan inilah yang menjadi dasar agar peran dan fungsi MPR RI diperkuat kembali. Penguatan itu hendaknya ditandai dengan memulihkan atau mengembalikan wewenang konstitusional MPR agar dapat membuat ketetapan yang mengikat atau regeling.
Hal ini pun sudah ditetapkan dalam hierarki perundang-undangan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yakni UUD, ketetapan MPR, Undang-Undang, Perpu hingga Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah (Perda).
"Tidak ada tujuan lain di balik aspirasi pemulihan atau penguatan wewenang MPR. Satu-satunya tujuan strategis di balik aspirasi ini adalah menghadirkan sistem hukum ketatanegaraan yang efektif, solutif dan komprehensif agar negara-bangsa selalu dimampukan mengelola dan mengatasi aneka krisis. Termasuk krisis politik ataupun krisis konstitusi," tandas Bamsoet.
Menurutnya, kewenangan subjektif superlatif pun penting berada di tangan MPR jika negara dihadapkan pada situasi kebuntuan politik antar lembaga negara atau antar cabang kekuasaan. Misalnya, kebuntuan politik antara lembaga kepresidenan (pemerintah/eksekutif) dengan lembaga DPR (legislatif), atau kebuntuan politik pemerintah dan DPR dengan lembaga Mahkamah Konstitusi (yudikatif).
"Siapa yang berhak memutuskan jika terjadi suatu kondisi force majeure atau kahar fiskal dalam skala besar, namun terjadi kebuntuan antara presiden dan DPR? Lalu, jika terjadi perseteruan antara presiden (pemerintah) dengan DPR, sementara negara masih dalam situasi kedaruratan yang tinggi siapa yang menengahi? Menurut saya yang paling tepat adalah MPR sebagai representasi pemegang kedaulatan rakyat tertinggi di Indonesia," pungkas Bamsoet.
Selain Megawati, kegiatan di Lemhannas ini turut dihadiri Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto, Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono, Menkopolhukam Mahfud MD, Menkumham Yasonna Laoly, MenPAN-RB Abdullah Azwar Anas, Menhub Budi Karya Sumadi, dan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. [eta]