WahanaNews.co | Kelompok radikalisme dan ekstremisme saat ini semakin kekinian, salah satunya dengan memanfaatkan media sosial (medsos).
Cara seperti itu digunakan karena mereka ingin menyasar anak-anak muda untuk bergabung.
Baca Juga:
Kesbangpol JB Gelar Dialog: Ingin Masyarakat Waspadai Ancaman Terorisme dan Radikalisme
Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Ruang Baca Cerdas (RBC) Institute A Malik Fadjar, Subhan Setowara, dalam acara focus group discussion (FGD) bertema "Pemuda dan Ekstremisme Beragama", yang digelar secara daring di Yogyakarta, Senin (30/8/2021).
Acara digelar Cangkir Opini bersama Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Yogyakarta dan DPD IMM Jawa Timur.
Selain Subhan, hadir pula dalam diskusi ini mantan narapidana teroris, Nasir Abbas, sejarawan dari Muhammadiyah, Mu"arif, dan Zulfikar sebagai moderator.
Baca Juga:
FKTP Kalteng: Fenomena Radikalisme Mulai Muncul Dikalangan Elite dan Terdidik
"Gerakan ekstremisme pada hari ini makin kekinian. Gerakan terorisme menyasar kaum muda lantaran rasa ingin tahu mereka yang tinggi," ujar Subhan.
Dalam kaitan itu, dia mengatakan, kelompok Taliban di Afghanistan yang berhasil merebut kekuasaan lebih pandai mempromosikan diri.
Bisa dikatakan, mereka saat ini adalah Taliban versi 2.0, karena berbeda dengan Taliban sebelumnya.
"Taliban 2.0 melakukan re-branding lewat Twitter dan konten media sosial lainnya dengan menunjukkan ciri kekinian. Setelah memasuki Kabul, misalnya, para militan Taliban lantas mem-posting video dan foto yang menampilkan para pejuang mereka sebagai sosok orang biasa yang mudah didekati," tutur Subhan.
Sementara, Nasir Abbas menceritakan tentang awal mula serta perjalanannya menjadi teroris di berbagai negara, termasuk belajar di Afghanistan.
"Pada umur 15 tahun, saya sudah ke Afghanistan dengan niat untuk melanjutkan pendidikan. Namun, karena tidak memiliki ijazah, akhirnya saya masuk NII. Dari situ awal mula saya mengenal dengan gerakan terorisme dan ekstremisme," ujar Nasir.
Sejarawan Muhammadiyah, Mu"arif, menjelaskan tentang konsep dasar moderasi dalam beragama dalam perspektif sejarah.
"Fakta-fakta historis menunjukkan bahwa kekerasan dengan mengatasnamakan agama sudah terjadi sejak zaman Sahabat Nabi dan biasanya dilatarbelakangi oleh persoalan atau kepentingan politik," jelasnya.
Direktur Eksekutif Cangkir Opini, Zaki Ma"ruf, menjelaskan, diskusi ini dikonsep lebih aktif dan interaktif agar peserta dapat ikut serta dalam berdiskusi dan tidak satu arah.
"Agenda ini diawali dengan dialog tentang ekstremisme dalam beragama dan akan dilanjutkan dengan diskusi per kelompok yang nantinya akan melahirkan sebuah narasi dan gerakan dalam menyuarakan moderasi beragama," jelasnya.
Zaki mengatakan, kegiatan ini dilaksanakan untuk merespon berbagai isu terorisme yang akhir-akhir ini masih meresahkan masyarakat Indonesia.
Ketua Umum DPD IMM DIY, M Akmal Ahsan, mengatakan, selain berperan serta dalam diskusi ini, pihaknya saat ini juga melakukan gerakan kemanusiaan bernama #JogjaBangkit.
"Gerakan untuk merespon pandemi Covid-19. Gerakan ini setidaknya menyasar warga yang sedang isolasi mandiri, pedagang terdampak, dan masyarakat marginal. Hingga hari ini ratusan sembako dan nasi bungkus telah didistribusikan kepada masyarakat dan masih akan terus berlangsung hingga beberapa waktu mendatang," katanya. [dhn]