WahanaNews.co | Sidang perdana kasus Korupsi PT
Dirgantara Indonesia (PT DI) yang melibatkan dua terdakwa yakni mantan Direktur
Utama, Budi Santoso dan Mantan Kepala Divisi Penjualan, Irzal Rinaldo Zaini
digelar di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor, Jalan L.L R.E Martadinata, Kota
Bandung, Senin (2/11/2020).
Dalam
dakwaan jaksa, Budi Santoso dan Irzal Rinaldo Zaini dinilai telah melakukan
perbuatan melawan hukum dengan membuat sejumlah kontrak perjanjian fiktif
bersama mitra penjualan untuk memasarkan produk dan jasa PT DI.
Baca Juga:
Kasus Belum Tuntas, Zarof Ricar Kembali Tersangka Suap Rp 11 M di PT DKI dan MA
Kontrak
fiktif tersebut ditujukan kepada Badan SAR Nasional (Basarnas), Kementerian
Pertahanan, Badan Pengkajian dan penerapan teknologi (BPPT), Kepolisian Udara,
Pusat penerbangan angkatan darat (Puspenerbad), Pusat penerbangan angkatan laut
(Puspenerbal), dan Sekretariat Negara.
Dari
tindakan itu, Jaksa mendakwa, Budi Santoso telah melakukan perbuatan memperkaya
diri sebesar Rp 2 miliar lebih. Dan terdakwa Irzal Rinaldo Zaini memperkaya
diri sebesar Rp 13 miliar lebih.
Selain
memperkaya diri, Jaksa mendakwa ada tindakan memperkaya konsumen pemberi kerja
atau end user yaitu PT DI sebesar Rp 178 miliar, serta memperkaya korporasi mitra penjualan
dengan total sekitar Rp 82 miliar.
Baca Juga:
Kejagung Bongkar Skema Sistematis Korupsi Pertamina, Kerugian Negara Tembus Rp 285 Triliun
"Tindakan
ini mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 202 miliar dan USD 8,65 juta, total sekitar Rp 345 miliar, sebagaimana laporan
investigasi BPK atas kegiatan penjualan dan pemasaran tahun 2006-2018 di PT
DI," ucap Jaksa Penuntut Umum KPK Ariawan Agustiartono.
Ariawan
menerangkan selama tahun 2008 sampai 2016, Budi Santoso selaku direktur utama
memberi persetujuan adanya biaya khusus sebagai bagian dari cost structure
penawaran, padahal sesuai pasal 89 UU nomer 19 tahun 2003 tentang BUMN jo.
Pasal 32 Peraturan Menteri BUMN tahun 2002 tentang praktik Good Corporate
Governance pada BUMN, badan usaha negara dilarang memberikan atau menawarkan
sesuatu yang berharga kepada pelanggan atau pejabat pemerintah untuk
mempengaruhi atau sebagai imbalan.
"PT
DI ini membuat serangkaian perjanjian kontrak fiktif dengan perusahaan mitra
penjualan. Dan hasil perjanjian kontrak itu PT DI mengeluarkan sejumlah uang
sesuai nilai kontrak. Saat selesai dibayarkan nilai kontraknya, perusahaan
mitra harus mengembalikan 90 persen dari nilai kontrak ke PT DI dan 10 persen
sisanya dimiliki perusahaan mitra. Jadi semacam hanya pinjam bendera untuk
mengeluarkan uang dari kas PT DI," papar Ariawan.
Kedua
terdakwa, melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo
Pasal 65 ayat (1) KUHP. [dhn]