WahanaNews.co | Direktur Eksekutif Imparsial, Gufron Mabruri, menilai, rencana pembentukan Dewan Keamanan Nasional (DKN) bisa menghidupkan kembali Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban atau Kopkamtib seperti pada era Orde Baru (Orba).
Pasalnya, keberadaan DKN bisa membenarkan pendekatan koersif dalam menjaga keamanan, termasuk pelibatan aparat militer.
Baca Juga:
Teuku Markam: Keturunan Bangsawan Aceh, Penyumbang Emas Tugu Monas
“Secara praktis, pembentukan DKN akan membuka jalan pembenaran digunakannya pendekatan koersif atau pengendalian sosial dengan tindakan memaksa dan kekerasan atas nama keamanan, termasuk dalam hal ini adalah pelibatan aparat militer,” ujar Gufron dalam keterangannya, Selasa (20/9/2022).
Hal ini, menurut Gufron, terbuka terutama ketika suatu keadaan ditetapkan sebagai krisis dan ancaman nyata.
DKN memiliki kewenangan pengendalian situasi.
Baca Juga:
Batara Ningrat Simatupang, Pendekar Ekonomi yang Tak Henti Mengais Ilmu
Menurut Gufron, indikator penilaiannya akan bernuansa keamanan negara dan militer, serta tidak tertutup kemungkinan militer akan dilibatkan.
“Secara historis, pada masa Orde Baru, kita pernah memiliki pengalaman dengan Kopkamtib sebagai lembaga super power yang mengontrol dan mengendalikan keamanan. Tentu jangan diulangi lagi atau dihidupkan kembali, pada saat era demokrasi hari ini melalui pembentukan DKN,” tegasnya.
Gufron juga menilai, pembentukan DKN merupakan agenda lama yang ditolak oleh berbagai pihak seperti DPR dan masyarakat.
Kini, katanya, agenda ini coba dihidupkan kembali melalui rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pembentukan DKN.
“Pembentukan melalui Perpres untuk memotong proses legislasi di parlemen dan menutup ruang partisipasi publik. Karena itu pembahasannya terbatas dan tertutup. Hal ini menjadi berbahaya karena menjadikan pembahasan Perpresnya berada di dalam ruang gelap yang jauh dari partisipasi publik,” katanya.
Menurut Gufron, pembentukan DKN juga tidak urgen dan bisa memunculkan permasalahan baru serta serius jika dilihat dari konteks reformasi sektor keamanan, terutama untuk menjaga dan memajukan politik demokrasi ini.
Pasalnya, pembentukan DKN bisa dikatakan bertentangan dengan konstitusi yang menghendaki adanya pemisahan kekuasaan, dalam hal ini antara kekuasaan militer dan sipil.
“Secara paradigma berupaya menyatukan domain pertahanan dan keamanan, yang semuanya akan dimasukkan ke dalam lingkup fungsi dan tugas DKN,” tuturnya.
Gufron juga mengatakan jika gagasannya adalah ingin mengoptimalkan peran Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas), maka yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah mengevaluasi keberadaan Wantanas agar sesuai dengan Dewan Pertahanan Nasional sebagaimana diamanatkan Pasal 15 Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Oleh karena itu, menurutnya, seharusnya yang dibentuk adalah Dewan Pertahanan Nasional (DPN) yang berfungsi membantu Presiden dalam menyusun kebijakan pertahanan nasional, bukan justru membentuk DKN.
“Pembentukan DKN dalam realitasnya akan menimbulkan tumpang-tindih fungsi dan tugas lembaga negara yang sudah ada. Misalnya dengan Kemenko Polhukam yang selama ini fungsi dan tugasnya melakukan koordinasi keamanan nasional,” katanya. [gun]