WahanaNews.co, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang diajukan oleh sejumlah mantan pegawai KPK.
Dalam sidang ini, penggugat meminta agar MK mengeluarkan putusan sela untuk menunda proses seleksi calon pimpinan dan Dewas KPK sampai ada putusan MK atas gugatan mereka.
Baca Juga:
Kementerian PU Raih Penghargaan Program Edukasi Antikorupsi dan Pencegahan Korupsi dari KPK
Para pemohon tersebut antara lain Novel Baswedan, Mochamad Praswad Nugraha, Harun Al Rasyid, Budi Agung Nugroho, Andre Dedy Nainggolan, Herbert Nababan, Andi Abd Rachman Rachim, Rizka Anungnata, Juliandi Tigor Simanjuntak, March Falentino, Farid Andhika, serta Waldy Gagantika. Mereka mengaku menjadi pihak yang dirugikan atas pemberlakuan Pasal 29 huruf e UU KPK sehingga melanggar hak konstitusionalitas Pemohon yang dijamin Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D, dan Pasal 28I UUD 1945.
"Kami berpandangan bahwa pengalaman dalam upaya memberantas korupsi dan sama lembaganya, yaitu di KPK itu menjadi pandangan yang bisa dipertimbangkan, Yang Mulia," ujar Novel dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 68/PUU-XXII/2024 seperti dikutip dari situs MK, Senin (22/7/2024).
Para pemohon yang pernah menjadi pegawai KPK merasa mengalami kerugian konstitusionalitas karena tidak dapat mengikuti seleksi calon Pimpinan KPK 2024-2029 berdasarkan penafsiran ketentuan Pasal 29 huruf e UU KPK yang berbunyi:
Baca Juga:
KPK Tak Terima Julukan Disebut Lebih Mirip 'Polsek Kuningan'
Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: e. berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan.
Para pemohon mengaku memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun sebagai pegawai KPK dengan usia kurang dari 50 tahun. Hal itu membuat para pemohon tidak dapat mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK periode 2024-2029 karena tidak terpenuhinya syarat minimum usia.
Pemohon menyebutkan syarat minimum usia pimpinan KPK minimal usia 50 tahun tidak diatur dalam konstitusi sehingga termasuk kebijakan hukum terbuka pada pembentuk undang-undang (open legal policy). Menurut pemohon, untuk menghentikan adanya kerugian konstitusional warga negara yang bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan Pasal 29 huruf e UU KPK perlu dimaknai kembali oleh MK dengan bunyi:
Berusia paling rendah 50 tahun atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK atau paling rendah 40 tahun dengan pengalaman sekurang-kurangnya selama 5 tahun sebagai pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi, dan paling tinggi 65 tahun.
Sementara itu, Praswad menjelaskan, perbandingan batas usia menjadi pimpinan lembaga negara lainnya, di antaranya Ombudsman berusia 40 tahun, KPU berusia 30 tahun, Komnas HAM berusia 40 tahun, Komisi Yudisial berusia 40 tahun, Komisi Informasi Pusat berusia 35 tahun, serta BPK berusia 35 tahun. Dia berharap perbandingan syarat batas usia paling rendah di beberapa lembaga negara tersebut menjadi pertimbangan MK.
"Kami mohon kemudian itu bisa menjadi pertimbangan Yang Mulia karena seluruh lembaga-lembaga negara itu di rentang 35-40 tahun, hanya KPK sendiri yang 50 tahun," kata Nugraha.
Kuasa hukum para pemohon, Lakso Anindito, mengatakan permohonan telah disampaikan kepada MK pada Mei 2024, tetapi MK masih fokus pada penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2024. Pihaknya meminta MK membuat putusan sela agar para pemohon mendapat dispensasi atau penundaan proses seleksi pemilihan pimpinan KPK yang pendaftarannya telah ditutup pada Senin (15/7/2024).
"Kami ingin mengajukan terkait putusan sela Yang Mulia apabila diperkenankan agar pemohon kami tidak semakin jauh kehilangan haknya dan tetap mendapatkan dispensasi atau prosesnya ditunda pada proses seleksi yang sedang berlangsung," tutur Lakso.
Sidang perkara ini dipimpin Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Dalam sesi nasihat hakim, Enny menyatakan para pemohon belum menguraikan alasan permohonan ini tidak melanggar asas ne bis in idem atau berbeda dengan permohonan yang sebelumnya telah diputus MK.
"Tapi ini berat ini, karena barang ini sudah diputus oleh Mahkamah baru saja putusannya, Putusan 112 itu kan tahun 2022, kemudian Anda minta lagi untuk diputus, ini memang harus bisa meyakinkan Mahkamah di mana letak persoalan konstitusionalitasnya itu, ini yang benar-benar harus Anda bisa meyakinkan dengan menguraikan dari sisi batu ujinya atau alasan di situ yang kuat," jelas Enny.
Sementara Arsul Sani mengatakan soal latar belakang pendidikan yang menjadi kualifikasi pimpinan KPK disesuaikan dengan mandat yang diberikan kepada KPK seperti penindakan, pencegahan, dan pendidikan berkaitan dengan pemberantasan korupsi. Dia mengatakan petitum yang meminta pasal itu dimaknai dengan berpengalaman sebagai pegawai KPK tanpa penjelasan lebih detail justru dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan lain.
"Kenapa nggak dikualifikasikan ke sana karena kalau nggak yang seperti tadi disampaikan, mohon maaf bukan merendahkan atau apalagi melecehkan bidang-bidang yang lain, di luar yang menjadi core business-nya KPK, katakanlah mohon maaf sekali lagi pekerja lama sebagai driver sekolah pintar kan sudah memenuhi sekian tahun," kata Arsul.
Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Suhartoyo mengatakan para pemohon memiliki waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan.
Seusai persidangan, Ketua IM57+ Institute Praswad Nugraha mengatakan pihaknya lebih dulu menjelaskan pokok permohonan terhadap majelis hakim. Dia mengatakan para mantan pegawai miris dengan kondisi kepemimpinan KPK sekarang.
"Poin-poin yang disampaikan bahwa pengajuan ini sebagai wujud upaya eks KPK yang miris dengan kondisi kepemimpinan KPK saat ini," ujar Praswad dalam keterangan tertulis.
"Argumentasi yang diajukan terkait dengan batas minimum 40 tahun sesuai semangat reformasi yang dibuktikan dengan lembaga negara pasca reformasi yang batas minimum berkisar 40 tahun," sambungnya.
Dia berharap ada putusan sela karena masa pendaftaran capim KPK sudah ditutup, sementara putusan MK atas gugatan mereka belum ada. Dia juga mengapresiasi hakim yang memberikan masukan untuk perbaikan permohonan.
"Pemohon juga menyampaikan permohonan sela karena batas pendaftaran sudah terlewati tanggal 15 lalu," tambahnya.
[Redaktur: Sobar Bahtiar]