WAHANANEWS.CO, Jakarta – Pemerintah melalui Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq mengancam akan menggugat para produsen yang abai terhadap pengelolaan sampah.
Ia memastikan siap menempuh jalur hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang menjadi penyumbang utama sampah plastik di Indonesia.
Jalur hukum yang ditempuh tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
"Kami akan tuntut. Datanya sudah konkret," ujar Hanif di Bali, beberapa waktu lalu.
Baca Juga:
Kota Tarakan Alami Kenaikan Volume Sampah 10-15 Persen Selama Ramadan
Dalam laporan Brand Audit Report 2024 yang dirilis oleh Sungai Watch, setidaknya ada beberapa produsen yang menjadi penyumbang sampah plastik terbesar di perairan Indonesia.
Salah satunya, perusahaan market leader Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) tersohor di Tanah Air.
Laporan ini menyebutkan bahwa dalam empat tahun berturut-turut, perusahaan tersebut menduduki peringkat teratas sebagai penyumbang utama sampah plastik di berbagai perairan dan lokasi pembuangan sampah.
Berdasarkan audit yang dilakukan terhadap 623.021 item sampah yang dikumpulkan dari sungai, pantai, dan tempat pembuangan sampah di Bali serta Banyuwangi, ditemukan bahwa perusahaan market leader AMDK menyumbang sebanyak 36.826 item sampah plastik.
Baca Juga:
Langkah Nyata Pemkot Pontianak dalam Mengurangi Sampah Plastik di Lingkungan Kota
Jenis kemasan gelas plastik yang diproduksi oleh perusahaan tersebut menjadi kontributor terbesar dalam pencemaran lingkungan.
Sungai Watch menyoroti ketidakseimbangan antara klaim perusahaan terkait inisiatif daur ulang dengan realitas di lapangan.
Meskipun perusahaan menyatakan bahwa seluruh kemasannya '100 persen dapat didaur ulang', faktanya produk dalam kemasan gelas plastik sekali pakai masih mendominasi dan sulit didaur ulang di Indonesia.
Menteri Hanif menegaskan produsen memiliki tanggung jawab penuh atas kemasan produk yang mereka hasilkan.
Undang-Undang Pengelolaan Sampah secara jelas mengatur bahwa perusahaan harus memastikan produknya dapat dikelola atau didaur ulang dengan baik.
Sebagai tindak lanjut, Kementerian Lingkungan Hidup berencana menerapkan mekanisme ganti rugi terhadap perusahaan yang berkontribusi besar terhadap pencemaran.
Hal ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Jika perusahaan tetap tidak melakukan perbaikan, pemerintah tidak akan ragu untuk membawa kasus ini ke pengadilan.
"Dan sepertinya hampir di semua pengadilan kami tidak pernah kalah," ujar Menteri Hanif dengan tegas.
Kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR) menjadi ujian nyata bagi komitmen pemerintah dalam menangani masalah sampah plastik.
Penerapan aturan yang lebih ketat akan memaksa produsen untuk mengurangi ketergantungan pada kemasan plastik sekali pakai atau bersiap menghadapi konsekuensi hukum yang lebih serius.
Langkah ini diharapkan dapat menjadi momentum bagi perusahaan-perusahaan besar untuk benar-benar bertanggung jawab atas dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh produk mereka.
[Redaktur: Zahara Sitio]