WAHANANEWS.CO, Jakarta - Sebagian permohonan tiga mahasiswa dari Jawa Timur (Jatim) yang menggugat Pasal 426 ayat (1) huruf b UU Pemilu terkait pengunduran diri calon legislatif (caleg) terpilih, dikabulakan Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada pertimbangannya, MK menyatakan caleg terpilih tak boleh semena-mena mundur karena alasan pribadi tak jelas atau ikut pilkada, kecuali mendapat tugas atau jabatan negara yang bukan hasil pemilu.
Baca Juga:
DPRK Subulussalam di Mita Mencoret 2 Nama Calon Anggota Baitul Mal dari 8 yang Diusulkan Wali Kota
Dalam putusan yang dibacakan Jumat (21/3), MK menyatakan Pasal 426 ayat (1) huruf b UU Pemilu bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bersyarat.
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 426 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'mengundurkan diri karena mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum'," ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya, mengutip CNN Indonesia.
Dengan demikian, mengutip dari laman MK, pengunduran diri caleg terpilih dapat dibenarkan dengan alasan menjalankan tugas negara yang lain berdasarkan pengangkatan dan/atau penunjukan, bukan melalui pemilihan umum.
Baca Juga:
Satreskrim Polresta Jambi Tangkap 2 Pelaku Perjudian, Bro JV: Tangkap Bandar dan Hapus Situsnya, Menangkap Pemain Bukan Solusi
"Seperti diangkat atau ditunjuk untuk menduduki jabatan menteri, duta besar, atau pejabat negara/pejabat publik lainnya. Artinya, jabatan-jabatan tersebut adalah jabatan yang bukan jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum (elected officials), melainkan jabatan yang berdasarkan pengangkatan dan/atau penunjukan (appointed officials)," demikian pertimbangan mahkamah dalam putusan perkara Nomor 176/PUU-XXII/2024 tersebut.
Permohonan uji materi UU Pemilu tersebut diajukan tiga mahasiswa asal Jawa Timur yakni Adam Imam Hamdana,Wianda Julita Maharani, dan Adinia Ulva Maharani. Mereka beralamat di Trenggalek dan Blitar.
MK pun menyatakan dalil yang diungkap tiga pemohon itu berdasar sehingga mahkamah mengabulkannya sebagian. Putusan MK itu sejalan dengan fenomena yang terjadi, termasuk pascapemilu legislatif (pileg) 2024.
Pada Pileg 2024 lalu banyak calon terpilih yang mengundurkan diri untuk maju dalam Pilkada. Dalam pertimbangannya, MK menilai praktik tersebut mencerminkan proses demokrasi yang tidak sehat, bahkan dan berpotensi bersifat transaksional. Selain itu juga mengurangi penghormatan terhadap suara rakyat yang diberikan lewat pemilu untuk caleg pilihannya.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menekankan walau pengunduran diri merupakan hak calon terpilih, mandat rakyat yang diberikan melalui pemilu harus menjadi pertimbangan utama sebelum mengambil keputusan mengundurkan diri.
"Ketika seorang calon terpilih berhasil meraih suara terbanyak, maka keterpilihannya merupakan mandat rakyat yang harus dihormati. Suara rakyat yang diberikan dalam pemilu merupakan perwujudan demokrasi dan tidak boleh diabaikan," ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra yang membacakan bagian pertimbangan tersebut.
Menurut MK, pengunduran diri seorang calon legislatif terpilih dapat meniadakan suara pemilih yang telah memilihnya. Dalam sistem pemilu proporsional terbuka, pemilih dapat memilih berdasarkan figur calon yang diusung. Jika calon yang terpilih mengundurkan diri, suara rakyat menjadi tidak bermakna dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Hakim Konstitusi Arsul Sani yang membacakan bagian pertimbangan lainnya menjelaskan ketidakjelasan dalam Pasal 426 ayat (1) UU Pemilu berpotensi menimbulkan praktik yang tidak sehat dalam demokrasi.
Mahkamah menilai pasal itu tidak memberikan batasan yang jelas mengenai alasan yang dapat digunakan untuk pengunduran diri calon terpilih. Akibatnya, penyelenggara pemilu hanya memproses pengunduran diri tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap pemilih.
MK menegaskan batasan dalam pengunduran diri calon terpilih diperlukan untuk menjaga prinsip kedaulatan rakyat dalam pemilu.
Caleg terpilih mundur karena pilkada
Dalam pertimbangan putusan itu, MK juga tidak membenarkan pengunduran diri caleg terpilih demi kepentingan ikut pemilu kepala daerah (pilkada). Pasalnya caleg terpilih tersebut telah mendapatkan mandat dari rakyat melalui pemilu legislatif.
MK menilai fenomena yang terjadi itu membuat suara pemilih terhadap figur tertentu untuk menjadi anggota DPR, anggota DPD, atau anggota DPRD jadi tidak terlindungi. Mahkamah melihat suara pemilih yang sudah memilih calon tertentu dalam pemilihan anggota DPR, anggota DPD, atau anggota DPRD dinegasikan lewat pengunduran diri caleg terpilih.
"Mahkamah berpendapat calon terpilih yang mengundurkan diri karena hendak mencalonkan diri dalam pemilihan umum kepala daerah/wakil kepada daerah adalah hal yang melanggar hak konstitusional pemilih sebagai pemegang kedaulatan rakyat," demikian pertimbangan MK yang dibacakan.
MK pun mengingatkan kepada partai-partai politik sebagai pengusul calon pejabat publik--caleg maupun calon kepala daerah--sebelum ikut kontestasi pileg maupun pilkada. MK mengingatkan para parpol pengusul atau pengusung tidak boleh menegasikan suara rakyat yang telah memilih sebelumnya sebagai pemegang kedaulatan rakyat.
"Oleh karenanya menurut Mahkamah, setelah calon legislatif terpilih maka calon terpilih akan menjadi wakil rakyat yang tidak bisa dengan semena-mena dilakukan penggantian baik oleh partai politik maupun dengan pengunduran diri atas kehendak calon terpilih sendiri," demikian pertimbangan yang dibacakan.
"Penggantian yang dilakukan dengan ketidakjelasan alasan apalagi alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan akan mengkhianati suara rakyat yang telah diberikan saat pemungutan suara dalam pemilihan umum calon anggota legislatif," imbuhnya.
Tiga pemohon--Adam, Wianda Julita Maharani, dan Adinia--saat mengajukan permohonan itu ke MK menyatakan caleg terpilih yang mundur adalah sebuah bentuk pengkhianatan, serta tidak bertanggung jawab atas mandat yang diberikan langsung oleh rakyat.
Mereka menilai penerapan pasal UU pemilu itu membuka peluang politikus menjadi caleg untuk sekedar tes saja, dan dikalkulasikan untuk berpindah haluan ke pilkada.
Menurut Pemohon, hal tersebut sangat berpotensi menjadikan suara rakyat tidak dihargai, dan tak sesuai dengan semangat Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 serta Nomor 40/PUU-VIII/2010.
[Redaktur: Alpredo Gultom]