WahanaNews.co | Aksi demonstrasi 1812 dinilai bersifat dilematis. Sebab, ada
potensi penunggang gelap yang ikut berunjuk rasa demi kepentingan pribadi.
Ahli hukum tata negara, Refly Harun,
pun menyoroti kerumunan itu.
Baca Juga:
HRS Sebut ‘Negara Darurat Kebohongan’, Pengacara: Itu Dakwah
"Banyak kepentingan yang kadang bukan
kepentingan dari pengunjuk rasa itu sendiri. Ini sesuatu yang sifatnya
dilematis, karena di satu sisi yang namanya demonstrasi itu hak
konstitusional," ujarnya, dikutip dari kanal YouTube-nya, Sabtu (19/12/2020).
Kendati begitu, imbuh Refly, hal ini
bisa dinegosiasikan dengan elemen segitiga, yaitu
istana, pengunjuk rasa, dan kepolisian.
Menurut Refly, sebenarnya massa Front
Pembela Islam (FPI) ingin berdialog dengan Presiden Jokowi.
Baca Juga:
Habib Rizieq Bebas, Ini Respon Pecinta HRS di Majalengka
Dikatakan Refly, sebagai kepala
negara, Presiden Jokowi memilih-milih untuk bertemu dengan rakyatnya dan tidak
pernah melayani FPI karena dianggap oposisi pemerintahan.
Padahal, kalau dibuka dialog,
lanjutnya, barang kali justru akan terjadi rekonsiliasi untuk menjadi arah yang
benar bagi pembangunan bangsa ini ke depan.
"Kalau selalu ada pembatas antara
Presiden Jokowi dengan rakyatnya, maka yang terjadi adalah alih-alih bisa
bertemu dengan presiden, malah dapat pentungan dari petugas keamanan,"
tuturnya.
Refly mengatakan bahwa banyak pihak
yang aneh dalam menanggapi demonstrasi, misalnya beranggapan demonstrasi
sebagai kejahatan. [dhn]